REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Puluhan ribu orang Israel menyerukan Rancangan Undang-Undang (RUU) reformasi peradilan yang diusulkan untuk dihapuskan. Mereka turun di jalan-jalan di Yerusalem dengan membawa bendera dan menabuh genderang di bawah terik matahari musim panas. Banyak tenda didirikan di taman dekat Knesset atau parlemen Israel.
"Kami khawatir, kami takut, kami marah. Kami marah karena orang-orang mencoba mengubah negara ini, mencoba menciptakan kemunduran demokrasi. Namun, kami juga sangat, sangat berharap,” kata mahasiswa berusia 24 tahun Tzivia Guggenheim.
Sementara itu, pengunjuk rasa kontra berkumpul di Tel Aviv. Mahasiswa berusia 24 tahun bernama Aviya Cohen mengatakan, dia datang untuk mengirim pesan kepada pemerintah yang telah dipilih.
"Saya 100 persen mendukung reformasi peradilan. Saya pikir negara saya membutuhkannya. Saya pikir kita benar-benar harus melakukannya," ujar Cohen.
Hasil jajak pendapat yang disiarkan oleh penyiar nasional Israel Kan menemukan, 46 persen warga Israel menentang amandemen versus 35 persen yang mendukung, sedangkan 19 persen masih ragu-ragu. Federasi buruh Histadrut mengusulkan versi Rancangan Undang-Undang yang diperkecil.
Pemimpin oposisi sentris pemerintahan Yair Lapid mengatakan, tawaran tersebut bisa menjadi dasar untuk pembicaraan kompromi baru. Namun partai Likud Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, itu terlalu dekat dengan keinginan posisi Lapid.
Presiden Isaac Herzog bertemu Netanyahu di rumah sakit usai pemasangan alat pacu jantung pada Ahad (23/7/2023). Pertemuan ini diharapkan menutup keretakan antara koalisi penguasa agama-nasionalis dan partai-partai oposisi.
"Ini darurat. Kesepakatan harus dicapai," ujar Herzog yang menengahi pembicaraan pada Maret-Juni tetapi sia-sia.
Knesset dengan koalisi Netanyahu memegang mayoritas akan mengadakan pemungutan untuk mensahkan pembatasan kekuasaan Mahkamah Agung pada Senin (24/7/2023). Reformasi yang disahkan menjadi undang-undang ini ditakuti para kritikus.
Mereka menilai, aturan baru itu bertujuan untuk mengekang independensi peradilan dan mempengaruhi kasus korupsi perdana menteri. Namun, Netanyahu membantah kritik tersebut dengan menilai aturan itu diperlukan untuk keseimbangan di antara cabang-cabang pemerintahan.
Koalisi Netanyahu pun menolak tuduhan yang dinilai berlebihan ingin menggerus Mahkamah Agung. Lembaga negara itu dinilai telah menjadi terlalu diintervensi oleh politik.
Kritikus mengatakan amandemen justru akan membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan. Tindakan itu justru menghapus salah satu dari sedikit pengawasan efektif terhadap otoritas eksekutif di negara tanpa konstitusi tertulis formal.
Krisis atas reformasi peradilan ini telah menyebar ke militer....