REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Kegiatan olahraga dilakukan oleh berbagai kalangan dengan latar belakang yang beragam, mulai dari orang awam, pegiat olahraga, hingga atlet profesional. Masing-masing kalangan tentu memiliki kebutuhan dan ekspektasi yang berbeda-beda akan pemulihan cederanya.
Akan tetapi, cedera olahraga, baik ringan maupun berat, memerlukan penanganan yang komprehensif hingga tuntas untuk mengurangi risiko cedera yang lebih serius pada kemudian hari.
Pada tahap awal penanganan cedera olahraga, teknologi medis terkini, seperti cyrotheraphy (terapi dingin), transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), dan ultrasound therapy cukup banyak digunakan untuk mengurangi nyeri dan mempercepat proses penyembuhan radang/inflamasi di area sekitar cedera.
Setelah peradangan berhasil diatasi, pasien dapat mulai menjalani program terapi selanjutnya untuk mengembalikan fungsi gerak dan memperkuat otot di sekitar area cedera. Di Sport Medicine, Injury & Recovery Center (SMIRC) di RS Pondok Indah, Bintaro Jaya, pasien akan dianjurkan untuk secara aktif berlatih dengan menggunakan berbagai macam alat olahraga yang dapat membantu mempersiapkan pasien kembali berolahraga.
Pada setiap sesi latihan, pasien akan mendapat pendampingan secara pribadi dari fisioterapis khusus olahraga yang memastikan program pemulihan dilakukan dengan aman dan efektif.
Dokter spesialis kedokteran olahraga, sport medicine, injury & recovery center RS Pondok Indah, Bintaro Jaya, dr Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO, menjelaskan, cedera olahraga perlu mendapat penanganan agresif dan akurat dari tim medis kompeten untuk memastikan pasien dapat kembali berolahraga tanpa rasa sakit dan risiko cedera tidak berulang pada kemudian hari.
Penanganan pertama yang diberikan akan memengaruhi keseluruhan proses pemulihan pasien, mulai dari tingkat keparahan hingga lama durasi proses penyembuhan. "Untuk itu, dukungan program pemulihan yang terdiri atas modalitas terapi dan terapi exercise yang tepat akan membantu proses penyembuhan pasien jadi lebih cepat, ujarnya.
Pada kasus cedera berat yang menyebabkan terjadinya robekan pada tendon, ligamen, dan tulang rawan, hingga robekan rotator cuff, pemeriksaan penunjang dengan modalitas pencitraan MRI dilakukan untuk mendapat gambaran jaringan lunak dalam tubuh dengan lebih jelas. Jika didapati adanya kerusakan yang membutuhkan tindakan pembedahan, tindakan operasi minimal invasif dapat dilakukan dengan membuat sayatan kecil untuk menangani bagian yang mengalami cedera.
Dokter spesialis bedah ortopedi konsultan sports injury & arthroskopi, Sport Medicine, Injury and Recovery Center RS Pondok Indah, Bintaro Jaya, dr Andi Nusawarta, M.Kes, Sp.OT (K-Sport), menambahkan, tindakan minimal invasif memberikan banyak manfaat bagi pasien dengan kasus cedera olahraga berat. Durasi operasi pada tindakan ini relatif lebih singkat, luka sayatan lebih kecil sehingga meminimalisasi kemungkinan rusaknya otot di area sekitar tindakan. "Waktu pemulihan lebih cepat sehingga pasien dapat segera melanjutkan proses terapi pemulihan selanjutnya dengan lebih nyaman, katanya.
Tak hanya penanganan cedera olahraga yang membutuhkan penanganan agresif dan akurat. Para pasien yang baru menjalani operasi besar juga membutuhkan terapi pemulihan dan latihan agar dapat kembali beraktivitas dan berolahraga seperti sediakala.
Apabila cedera ditemukan pada beberapa lokasi berbeda (multi-trauma) atau terjadi di lokasi yang sangat spesifik pada satu area tertentu, dokter spesialis bedah ortopedi konsultan cedera olahraga dan arthroskopi dapat melakukan jointoperation, yaitu tindakan operasi gabungan untuk menangani cedera olahraga tersebut bersama dengan tim dokter spesialis bedah ortopedi dari berbagai subspesialisasi yang juga berpraktik di RS Pondok Indah, Bintaro Jaya.
Selain itu, setelah tindakan, pasien juga dapat melakukan terapi yang berkesinambungan dengan fisioterapis khusus olahraga di bawah pemantauan dokter tanpa perlu berpindah fasilitas kesehatan.