REPUBLIKA.CO.ID, Pada 12 Juli 2023 lalu, Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB telah mengadopsi resolusi bertajuk Countering religious hatred constituting incitement to discrimination, hostility or violence. Dalam resolusi itu, Dewan HAM menyerukan negara-negara mengadopsi undang-undang, kebijakan, dan kerangka kerja penegakan hukum nasional untuk mencegah, menangani, serta menuntut aksi dan advokasi kebencian agama.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mendorong resolusi tersebut sebagai buntut dari serangkaian aksi pembakaran Alquran di Eropa. Duta Besar Indonesia untuk PBB di Jenewa Febrian A Ruddyard menceritakan kepada Republika.co.id tentang latar belakang dan momen ketika resolusi tentang seruan penanganan kebencian agama diadopsi.
Febrian mengungkapkan, pada tanggal 11-12 Juli 2023, Dewan HAM PBB menyelenggarakan Urgent Debate to discuss the alarming rise in premeditated and public acts of religious hatred as manifested by recurrent desecration of the Holy Quran in some European and other countries pada kesempatan Sidang Sesi ke-53 Dewan HAM (Juni-Juli 2023). Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menjadi pihak yang meminta pelaksanaan pertemuan tersebut.
“Urgent Debate ini sebelumnya tidak termasuk ke dalam agenda Sidang Sesi ke-53 Dewan HAM,” ujar Febrian, Selasa (25/7/2023).
Dia mengatakan, Urgent Debate dilakukan untuk merespons serangkaian insiden pembakaran Alquran di depan publik yang terjadi utamanya di sejumlah negara Eropa. Menurut Febrian terdapat tiga dasar mengapa sesi debat itu digelar. Salah satunya yakni absennya kerangka kebijakan dan hukum yang efektif di sejumlah negara yang membuat aksi pembakaran Alquran tak dapat dicegah serta diproses secara hukum.
Sebanyak 41 Negara Anggota Dewan HAM, 52 observer, dan 20 NGO menyampaikan pernyataan. Tujuh menteri luar negeri (menlu), yakni Indonesia, Arab Saudi, Pakistan, Qatar, Yordania, Mesir, dan Iran serta wakil menlu dari Turki menyampaikan pernyataan nasional melalui video statement.
Febrian mengungkapkan, dalam pernyataannya, Menlu RI Retno Marsudi menyampaikan beberapa hal. Pertama, mengutuk keras berbagai peristiwa pembakaran Alquran di sejumlah negara, termasuk di Swedia, yang telah melukai umat Muslim di seluruh dunia.
Menlu RI mengatakan, aksi pembakaran Alquran merupakan bentuk Islamofobia yang memicu kebencian terhadap Islam sebagai agama damai. Kedua, Menlu RI menyampaikan Pasal 20 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) mengatur negara agar melarang advocacy of religious hatred.
Ketiga, kebebasan berekspresi bukan hak untuk mendiskriminasi dan melukai orang lain. Oleh sebab itu penyalahgunaan kebebasan tersebut harus dihentikan.
Keempat Menlu RI mendesak Komisioner Tinggi HAM PBB memberikan respons memadai terhadap rangkaian aksi pembakaran Alquran.
Febrian mengatakan, sesi debat di Dewan HAM sebenarnya turut dihadiri Komisioner Tinggi HAM PBB Volker Türk dan Utusan Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama Nazila Ghanea. “Namun demikian, sangat disayangkan pernyataan maupun respons mereka terkait pembakaran Alquran dirasakan kurang memadai oleh negara-negara OKI,” ungkapnya.
Menurut Febrian, sebagian besar negara di Dewan HAM mengutuk insiden pembakaran Alquran. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut adalah bentuk kebencian berbasis agama yang harus dikriminalisasi. Negara-negara tersebut pun menilai kebebasan berpendapat dan berekspresi ada batasannya.
“Sebagian (negara) lainnya, terutama negara-negara penolak resolusi, hanya menolak keras (strongly reject) dan tidak dapat menerima insiden/tindakan tersebut (unacceptable). Mereka berpegang teguh bahwa freedom of religion dan freedom of expression sama pentingnya dan harus diterapkan secara berimbang; kriminalisasi bukan cara yang efektif untuk lawan kebencian dan intoleransi berbasis agama; pengadilan independen (bukan pemerintah) yang berwenang menentukan apakah freedom of expression sudah melewati batas atau tidak,” kata Febrian.
Urgent Debate Dewan HAM PBB akhirnya menghasilkan resolusi 53/1 Countering religious hatred constituting incitement to discrimination, hostility or violence, yang diajukan oleh OKI. Resolusi itu didukung 28 negara.
Sementara kubu penentang terdiri dari 12 negara dan tujuh negara lainnya memilih abstain. Belgia mewakili negara anggota Dewan HAM dari Uni Eropa meminta call for a vote.
“Dukungan luas terhadap resolusi (oleh 28 dari 47 negara anggota) merupakan sinyal positif bahwa komunitas internasional mengakui peristiwa pembakaran Alquran di depan publik sebagai salah satu bentuk kebencian berbasis agama yang perlu dikriminalisasi oleh negara karena melanggar hukum HAM internasional, dan kebebasan berekspresi ada batasannya,” kata Febrian.
Dia menambahkan tahun ini Indonesia tidak menjadi negara anggota Dewan HAM PBB. “Namun, sebagai bagian dari negara OKI, Indonesia mendukung inisiatif ini dan secara aktif terlibat dalam proses penyusunan dan negosiasi Resolusi, serta turut melakukan lobi-lobi agar resolusi ini diterima/didukung oleh sebanyak mungkin negara anggota Dewan HAM,” ucapnya.