REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik mengatakan pihaknya masih menunggu kepastian dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait penunjukan sebagai otoritas penyelenggara bursa karbon.
"Jadi memang kita sama-sama menunggu POJK seperti apa," ujar Jeffrey setelah acara bertajuk 'Ayo Menabung agar Anak Indonesia Bangkit Bergerak, Maju Serentak, Selamanya Berdampak' di Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/7/2023).
Sesuai dengan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), dia mengatakan pihaknya tetap menunggu arahan dari OJK selaku pemilik wewenang terkait implementasi bursa karbon.
"Jadi, kita tunggu aja sesuai dengan amanat UU P2SK yang akan mengatur bursa karbon kan OJK," ujar Jeffrey.
Terkait dengan persiapan, apabila Bursa Efek Indonesia (BEI) mendapatkan amanat untuk menyelenggarakan bursa karbon, Jeffrey menjelaskan akan melihat terlebih dahulu terkait seperti apa persyaratan dalam perizinan, baru kemudian akan menindaklanjutinya.
"Bursa dalam persiapannya tentu kita akan pertamalihat dulu, persyaratan dalam perizinan seperti apa, nanti kita akan menindaklanjuti itu," ujar Jeffrey.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan pemerintah berencana untuk mengimplementasikan bursa karbon pada September tahun 2023 ini. Target penerapan bursa karbon itu menjadi komitmen pemerintah untuk dapat mengurangi gas buang hingga 30 persen pada 2030 mendatang.
Luhut mengatakan entitas yang dapat ikut dalam perdagangan sekunder karbon itu hanya perusahaan atau badan usaha yang beroperasi di Indonesia.
"Kita berencana untuk menerapkan bursa karbon pada September 2023, sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat bauran energi terbarukan dan nol emisi pada 2060 nanti," ujar Luhut.
Dia memperkirakan aktivitas perdagangan karbon di dalam negeri, lewat perdagangan primer antarentitas bisnis dan sekunder melalui bursa OJK, dapat mencapai 1 miliar sampai 15 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 225,21 triliun per tahunnya.