REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan masih menyelidiki kejanggalan harta eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Tim penyelidik hingga kini terus mencari bukti yang cukup untuk menemukan dugaan tindak pidana yang dilakukan Eko.
“Jadi kita harus betul-betul menemukan bukti permulaan yang cukup,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Asep menjelaskan, setiap kasus korupsi yang ditangani KPK memiliki tingkat kesulitan berbeda. Menurut dia, penanganan kasus Eko tidak bisa dibandingkan dengan dugaan gratifikasi dan pencucian uang yang menjerat mantan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono. Meskipun pengusutan kedua kasus ini sama-sama bermula dari proses klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Ada yang kecukupan alat buktinya kita peroleh secara cepat, ada juga yg kita peroleh agak lambat atau agak sulit kecukupan buktinya. Sehingga waktu penangannya menjadi lama. Kalau (bukti) belum ditemukan, kami tidak akan gegabah untuk meningkatkan penetapan tersangka,” jelas Asep.
Sebelumnya, KPK telah memanggil Eko Darmanto untuk memberi klarifikasi mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya pada Selasa (7/3/2023). Dia diperiksa selama kurang lebih 8,5 jam di Gedung Merah Putih KPK usai kekayaannya menjadi sorotan warganet dan ia dinilai flexing atau pamer harta di media sosial.
Namun, Eko membantah bahwa dirinya kerap memamerkan gaya hidup hedon di media sosial miliknya. Dia mengeklaim, data pribadinya telah dicuri dan dibingkai dengan narasi pamer harta.
Selain itu, dia juga membantah isu yang menyebutkan dirinya memiliki pesawat Cessna. Ia menegaskan, pesawat kecil itu merupakan milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI).
Namun, dari hasil klarifikasi itu, KPK menilai, kekayaan Eko masuk dalam kategori outliers atau diluar kewajaran. Sebab, dia diketahui memiliki utang sebesar Rp 9 miliar, meski dalam LHKPN tercatat total kekayaannya mencapai Rp 15,7 miliar.