REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sepanjang Juli, cuaca ekstrem telah menyebabkan malapetaka. Cina, Amerika Serikat, dan Eropa selatan mencatat kenaikan suhu ekstrem yang memicu kebakaran hutan, kekurangan air, dan peningkatan rawat inap rumah sakit terkait panas. Selama akhir pekan, ribuan wisatawan dievakuasi dari Pulau Rhodes, Yunani untuk menghindari kebakaran hutan yang disebabkan oleh gelombang panas.
Menurut studi World Weather Attribution, tim ilmuwan global yang meneliti dampak perubahan iklim dalam cuaca ekstrem mengatakan, tanpa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, peristiwa gelombang panas sangat jarang terjadi.
"Suhu Eropa dan Amerika Utara hampir tidak mungkin tanpa efek perubahan iklim. Di Cina, sekitar 50 kali lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan masa lalu," kata Izidine Pinto dari Institut Meteorologi Kerajaan Belanda, salah satu penulis studi tersebut.
Tim Atribusi Cuaca Dunia memperkirakan, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca membuat gelombang panas Eropa mencapai 2,5 Celcius (4,5 Fahrenheit) lebih panas daripada yang seharusnya. Mereka juga menaikkan gelombang panas Amerika Utara sebesar 2 derajat Celcius dan gelombang panas di Cina sebesar 1 derajat Celcius.
Selain berdampak langsung pada kesehatan manusia, panas telah menyebabkan kerusakan tanaman berskala besar dan kerugian ternak. Tanaman jagung dan kedelai di AS, peternakan sapi di Meksiko, perkebunan zaitun Eropa selatan, serta kapas Cina sangat terpengaruh oleh gelombang panas.
Para ilmuwan mengatakan, El Nino mungkin berkontribusi pada panas tambahan di beberapa daerah. Tetapi peningkatan gas rumah kaca adalah faktor utama, dan gelombang panas akan sering terjadi jika emisi tidak dikurangi. Para ilmuwan memperkirakan, periode panas ekstrem yang berkepanjangan kemungkinan besar akan terjadi setiap dua hingga lima tahun sekali
Panas ekstrem yang berkepanjangan akan terjadi jika suhu global rata-rata naik 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Sementara suhu rata-rata saat ini diperkirakan telah meningkat lebih dari 1,1 derajat Celcius.
"Selama kita terus membakar bahan bakar fosil, kita akan melihat semakin banyak hal ekstrem ini. Saya kira tidak ada bukti yang lebih kuat yang pernah disajikan sains untuk pertanyaan ilmiah," kata Friederike Otto, seorang ilmuwan dari Institut Perubahan Iklim Grantham di London.