REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pimpinan Pusat Aisyiyah mendukung penuh atas Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama.
Kendati demikian, masih banyak masyarakat yang berbeda agama melangsungkan pernikahan di Indonesia.
Ketua Umum Aisyiyah Salmah Orbayinah menjelaskan bahwa menikah seharusnya sesuai dengan ketentuan agama masing-masing.
"Ketika kita atau anak-anak kita menikah maka tujuan utamanya adalah membentuk keluarga sakinah sehingga perlu dicatat secara resmi di KUA dan dibangun visi dan komitmen yang sama terutama ideologi dan kepercayaan yang sama,"ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (25/7/2023).
Menjadi keluarga sakinah maka diharapkan diantara pasangan ada rasa nyaman, tenang dan hormat menghormati. Untuk itu diperlukan memiliki ideologi dan visi misi yang sama.
Hal itu yang menjadi poros utama keluarga dalam membangun generasi unggul. Ini pun sejalan dengan program pemerintah untuk menciptakan generasi unggul 2045.
Bagi Bayyin sapaan akrabnya, fenomena nikah beda agama ini sangat disayangkan. Meski isu ini berangkat dari toleransi, Bayyin melihat hal itu tidak dianggap sebagai toleransi.
Toleransi antarumat beragama dapat dilakukan dengan banyak cara. Bukan berarti meleburkan dua agama dalam pernikahan.
Karena pernikahan beda agama memiliki dampak salah satunya ketika anak lahir dari pasangan tersebut. Mereka akan mengalami kebingungan untuk memilih agama.
Muhammadiyah khususnya Aisyiyah sangat mengutamakan toleransi beragama. Karena lembaga ini adalah lembaga yang inklusif, yakni terbuka dan sangat menerima adanya perbedaan agama tetapi tidak dengan menikah beda agama.
SEMA Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan resmi diundangkan oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin 17 Juli 2023.
Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun
Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan
2. Pengadilan tidak mengabulkan pemohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan
Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun
Sementara itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, penerbitan SEMA yang menginstruksikan hakim agar tak mengabulkan pernikahan beda agama itu dinilai menjadi legitimasi jika perkawinan beda agama sudah tidak boleh lagi disahkan.
"Saya kira sudah selesai yang kemarin soal pengadilan boleh menetapkan atau tidak boleh menetapkan, dengan edaran Mahkamah Agung itu berarti sudah tidak boleh lagi kedepan untuk ditetapkan. Artinya MA memberikan legitimasi terhadap pendapat bahwa perbedaan, perkawinan beda agama itu tidak boleh dicatatkan," ujar Ma'ruf Amin.