Rabu 26 Jul 2023 13:01 WIB

Luas TPS Cangkringan Dinilai tidak Cukup Jadi Tempat Pembuangan Sementara

TPS Cangkringan dibuka sejak ditutupnya TPST Piyungan karena overload.

Rep: Idealisa Masyarafina/ Red: Nora Azizah
Pemulung mencari sampah daur ulang pada tumpukan sampah pembuangan terakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pemulung mencari sampah daur ulang pada tumpukan sampah pembuangan terakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Pemprov DI Yogyakarta menyiapkan TPA sementara di Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai sarana penampungan sampah selama TPST Piyungan ditutup hingga September mendatang. Mengenai hal ini, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Ir Gunawan Budianto menilai bahwa luas dua hektare untuk tempat penampungan sampah sangatlah tidak cukup.

"Karena syaratnya dari luasan lahan yang dimiliki yang boleh dipakai untuk pengolahan sampah hanya 40 persen, yang lainnya untuk penyehatan lingkungan, seperti water treatment dan untuk pemilahan dan sebagainya. Dua hektare kan cuma 200x100 meter atau dua kali lapangan sepak bola," ujar ahli agroteknologi dan ilmu tanah UMY ini saat ditemui di UMY, Rabu (26/7/2023).

Baca Juga

Ia memaparkan, permasalahan sampah memang sangat pelik. Apalagi, dengan dibuatnya tempat penampungan sampah baru akan menimbulkan polusi bagi masyarakat sekitar seperti limbah bau dan literat.

Literat atau pelarutan yang berasal dari tumpukan sampah yang terkena hujan akan mencemari air tanah dan sumur di wilayah sekitar. Masyarakat yang menggunakan air sumur yang terkena limbah sampah tersebut dapat mengalami gatal-gatal, seperti yang terjadi di Piyungan.

Prof Gunawan menilai, seharusnya TPA di Indonesia harus ditertibkan tidak boleh dihuni masyarakat. Hal ini diakuinya sulit untuk dilakukan karena begitu ada jalan bagus, pasti akan ada hunian.

"Jadi, suatu saat nanti hunian itu yang akan memprotes TPA, seperti Gedebage, Bandung," katanya.

Tidak hanya itu, banyak TPA saat ini masih menjadi tempat menampung sampah, bukannya mengolah sampah. Nyatanya selama ini TPA lambat untuk mengolah karena kemampuan teknologi yang kurang memadai sehingga timbul masalah lingkungan.

Padahal kalau dikelola dengan cepat tidak akan menjadi masalah. Untuk itu, kita harusnya berharap dari unit kegiatan manusia terkecil sebagai produsen sampah, seperti sekolah, kampus, atau komunitas untuk memiliki unit pengolahan sampah sendiri. Akan tetapi, dia mengakui, budaya memilah dan mengolah sampah itu yang sulit diubah.

"Yang susah itu mengubah kultur, bagaimana kita memilah, pengompos itu kan gampang, teknologinya tidak terlalu susah. Tapi, kultur untuk memilah dulu itu kan susah. Misalnya tempat rekreasi yang bagus, tempat sampah merah kuning hijau isinya sama saja," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement