REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PELITA UMAT Chandra Purna Irawan mendukung Mahkamah Agung yang mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait larangan pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama. Chandra memandang SEMA itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Larangan pengadilan di seluruh Indonesia mengabulkan pernikahan beda agama dimuat dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Chandra sepakat dengan aturan internal di lingkungan MA itu.
"Kami sangat mendukung Mahkamah Agung yang telah secara resmi melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama," kata Chandra kepada Republika, Rabu (26/7/2023).
Chandra menganalisis SEMA tersebut telah sesuai dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu". Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....".
"Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah," ujar Chandra.
Selain itu, Chandra menilai rujukan hukum pembuatan SEMA sudah tepat. Sebab SEMA tersebut telah sesuai dengan Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022 yang menolak permohonan dilegalkan pernikahan beda agama.
SEMA itu pun sejalan dengan Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. "Fatwa MUI itu sudah ada yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah," ujar Chandra.
Diketahui, pengadilan kini tidak bisa mengesahkan perkawinan beda agama. Ini tercantum dalam SEMA Nomor 2 tahun 2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Dalam SEMA yang diterbitkan pada 17 Juli 2023 ini, tertulis bahwa SEMA tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan demikian, para hakim harus berpedoman pada ketentuan dalam SEMA itu.
Pedoman pertama yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pedoman kedua, yakni pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Syarifuddin.
Sebelumnya, ada pengadilan yang mengabulkan nikah beda agama. Contohnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon JEA yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.