REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Cina yang baru saja ditunjuk kembali, Wang Yi melakukan kunjungan perdananya ke Turki pada Rabu (26/7/2023). Pada pertemuan perdananya usai ditunjuk kembali sebagai Menlu, Wang langsung bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara.
Pertemuan keduanya, membahas soal kerja sama dengan Turki, perkembangan perang Rusia-Ukraina dan perkembangan global terkini lainnya. Sebelumnya, Cina menunjuk Wang, seorang diplomat veteran, sebagai menteri luar negerinya yang baru pada hari Selasa (25/7/2023), menggantikan diplomat yang sedang naik daun, Qin Gang, yang dikabarkan absen selama satu bulan setelah hampir setengah tahun menjabat.
Kemudian diskusi dilanjutkan antara Wang dan Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan, mencakup situasi terakhir di Ukraina serta sistem keuangan global, kata sumber kementerian luar negeri Turki. Keduanya juga mendapat update soal Rusia yang telah memperluas serangan udaranya terhadap target biji-bijian Ukraina, dalam beberapa hari terakhir. Sikap Rusia ini, setelah ia keluar dari kesepakatan koridor biji-bijian laut hitam pada 2022 yang ditengahi oleh PBB dan Turki.
Sementara itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa telah mendesak Cina untuk menggunakan pengaruhnya atas Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina. Awal tahun ini, Cina menerbitkan 12 poin rencana perdamaian, yang menyerukan agar perlindungan warga sipil dan kedaulatan semua negara dihormati.
Dalam pembicaraannya dengan Wang, Erdogan menyuarakan harapan bahwa Turki dan Cina akan mengintensifkan kerja sama mereka. Karena kedua negara memainkan peran penting dalam isu-isu global dan regional, kantor Erdogan mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan.
Fidan dan Wang juga menyinggung mengenai perkembangan hubungan ekonomi dan perdagangan antara Turki dan Cina, kata sumber kementerian luar negeri Turki. Diskusi mereka juga termasuk "harmonisasi inisiatif Sabuk dan Jalan dan Koridor Tengah" (One Belt One Road), serta energi nuklir, pertanian, dan penerbangan sipil, sumber itu menambahkan.
Kedua diplomat tinggi tersebut membahas situasi Uighur, etnis minoritas Muslim di wilayah Xinjiang, Cina barat, selama pembicaraan di Ankara, kata sumber tersebut.
Karena selama ini, kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap penduduk Uighur di Xinjiang, termasuk penggunaan kerja paksa secara massal di kamp-kamp interniran. Walaupun Cina membantah tuduhan tersebut.