Kamis 27 Jul 2023 13:11 WIB

Pertempuran Konstitusional Israel, Dari Parlemen ke Pengadilan Tinggi

Pertikaian hukum telah membayangi Israel sejak tahun 1990-an.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel,  27 Maret 2023.
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Para pengunjuk rasa berkumpul di luar Knesset menjelang protes massal di Yerusalem, Israel, 27 Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Mahkamah Agung Israel telah lama dipuja sebagai pembawa obor untuk hak-hak dasar. Namun, di sisi lain, lembaga ini dicemooh karena jangkauan elitis. Mahkamah Agung Israel berada di bawah pengawasan yang lebih ketat karena diminta untuk membatalkan reformasi peradilan yang diinisiasi oleh pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Knesset yang dikendalikan oleh koalisi agama-nasionalis Netanyahu mengesahkan RUU pertama dalam sesi voting yang penuh gejolak pasa Senin (24/7/2023). Sejak RUU itu disahkan, serangkaian banding telah diajukan di pengadilan. Banyak orang menilai mobilisasi peradilan melawan eksekutif dan legislatif sebagai pertempuran untuk masa depan suatu negara yang terpolarisasi atas politik, agama, etnis, dan gender.

Baca Juga

"Big Bang di Mahkamah Agung," tulis tajuk utama di situs berita Israel, Ynet.

Pengadilan pada Rabu (26/7/2023) mengatakan, mereka akan mendengar argumen dari aktivis pengawas politik yang menganggap undang-undang baru itu sebagai perubahan substantif terhadap struktur dasar demokrasi parlementer Israel dan karakter pemerintahan. Seorang sarjana di Forum Kebijakan Kohelet yang konservatif di Yerusalem, Eugene Kontorovich mengatakan, perombakan yudisial menjadi akhir dari demokrasi Israel.

"Mahkamah Agung tidak hanya diminta untuk menjadi hakim dalam kasusnya sendiri, tetapi juga diminta untuk memutuskan bahwa amandemen konstitusi tidak konstitusional. Itu benar-benar akan menjadi akhir dari demokrasi," ujar Kontorovich.

Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, yang merupakan orang kepercayaan Netanyahu, menghindari pertanyaan apakah pemerintah akan mengabaikan keputusan Mahkamah Agung yang menentangnya. "Pemerintah akan selalu mematuhi aturan hukum di Israel karena kami memiliki aturan hukum di Israel. Yang tidak kami miliki adalah aturan hakim," kata Dermer kepada CNN.

Pertikaian hukum telah membayangi Israel sejak 1990-an. Ketika itu seorang hakim ketua, Aharon Barak, menganjurkan perluasan wilayah di mana pengadilan dapat memerintah tanpa konstitusi tertulis. Itu adalah masa upaya perdamaian dengan Palestina yang ditentang oleh Israel yang ingin mempertahankan tanah pendudukan. Sementara kaum konservatif melihat beberapa intervensi pengadilan sebagai pendukung sayap kiri.

Ketika Netanyahu yang kembali berkuasa pada Desember 2022, pemerintah tidak sabar untuk melakukan perombakan yudisial yang dianggap merusak mandatnya. "Tidak ada keseimbangan dalam check and balances. Itulah masalah yang kami alami di Israel selama 30 tahun terakhir," kata Dermer.

Argumen semacam itu telah dibantah oleh Alan Dershowitz, seorang ahli hukum AS terkemuka yang ahli dalam sistem hukum Israel. Dalam sebuah wawancara pada Desember, dia menyebut peradilan Israel sebagai permata yang dihormati di seluruh dunia karena independensinya. Dershowitz mengatakan, tugas Mahkamah Agung bersifat kontra-mayoritarian.

Partai Likud yang dipimpin Netanyahu menarik dukungan inti di kalangan Yahudi Mizrahi yang kurang beruntung dari keturunan Timur Tengah. Ada kebencian terhadap sebagian besar Ashkenazi, atau Yahudi Eropa, kendati dua hakim berasal dari permukiman di wilayah pendudukan Tepi Barat yang menyumbang 5 persen dari populasi Israel.

"Mahkamah Agung adalah sebuah klik," kata Dudi Amsalem, seorang anggota kabinet yang memegang jabatan Kementerian Kehakiman, dalam sebuah wawancara pada April.  

Amsalem meminta Hakim Agung Esther Hayut untuk diadili karena keterlibatan dalam upaya kudeta. Pada 2022, Amsalem mengatakan, Hayut membencinya dan warga lain dari keluarga imigran Maroko. Hayut membantah tuduhan itu dalam surat terbuka. Dia menyuarakan kesedihan atas tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa dia lahir dari korban selamat Holocaust di kamp transit.

Jaksa Agung Israel, Gali Baharav Miara juga menentang rencana pemeriksaan yudisial. Baharav Miara mengeluarkan pendapat yang mendukung banding Mahkamah Agung terhadap amandemen undang-undang kuasi-konstitusional yang membatasi persyaratan untuk mencopot perdana menteri dari jabatannya.

Beberapa aktivis anti-pemerintah mengkhawatirkan kebangkitan partai politik Yahudi Ortodoks yang didominasi laki-laki. Amsalem tidak berbuat banyak untuk menghilangkan hal itu ketika, berpidato di Knesset minggu lalu.

Dia menuduh Baharav Miara lebih fokus mengurus dirinya sendiri daripada menangani protes terhadap reformasi peradilan. Sementara Merav Michaeli, ketua partai Buruh kiri-tengah, memuji Hayut dan Baharav Miara karena melindungi perempuan atas nama hukum. 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement