REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) khawatir alias was-was terjadinya politisasi guru dan dosen dalam jumlah masif pada gelaran Pemilu dan Pilkada 2024. Kekhawatiran itu berkaca dari pengalaman pemilihan-pemilihan sebelumnya.
Komisioner KASN Arie Budiman mengatakan, fakta adanya politisasi guru terlihat pada data KASN dalam Pilkada Serentak Tahun 2020. Pelaku pelanggaran netralitas ASN paling banyak adalah ASN dengan jabatan fungsional, yakni 26,5 persen dari total seluruh pelanggar.
"Di antara jabatan fungsional tersebut, maka kelompok jabatan guru dan dosen adalah yang terbanyak melakukan pelanggaran (70 persen) dibandingkan jabatan fungsional lainnya," kata Arie ketika membuka webinar bertajuk 'Mencegah Politisasi Sekolah dan Kampus Dalam Pemilu dan Pemilihan 2024', Kamis (27/7/2023).
Menurut Arie, pelanggaran netralitas oleh guru dan dosen dalan jumlah besar bisa kembali terjadi dalam pesta demokrasi 2024. Sebab, kelompok ASN ini punya daya tarik dari sisi kuantitas maupun kualitas bagi para kontestan untuk mendulang suara.
Dari sisi kuantitas, jumlah guru dan dosen terbilang besar, yakni 4.559.390 orang di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023. Sedangkan dari sisi kualitas, guru dan dosen punya kemampuan dan akses yang bisa dimanfaatkan sebagai pengepul suara.
Salah satu kemampuan dan akses itu, kata Arie, adalah interaksi guru dan dosen dengan para siswa atau mahasiswa yang sudah punya hak pilih. Berdasarkan data KPU, 46.800.161 pemilih Pemilu 2024 adalah generasi Z (lahir 1997-2012).
"Sebagian besar generasi Z ini kini berada dalam fase menempuh pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Lanjutan Atas dan perguruan tinggi," kata Arie.
Guru dan dosen, lanjut dia, juga kerap dipandang memiliki citra terpuji di mata publik. Para dosen dan guru juga kerap aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungannya. "Preferensi politik guru dan dosen dapat menjadi referensi publik," ujarnya.
Selain itu, guru dan dosen punya kompetensi keilmuwan yang dapat digunakan untuk membuat kajian, riset dan rekomendasi kebijakan. Produk akademis tersebut tentu sangat dibutuhkan oleh politisi untuk kepentingannya.
Di sisi lain, kata Arie, terdapat pula sejumlah faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas. Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan kontestan pemilu.
Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural pada Dinas Pendidikan atau perangkat daerah lainnya. Karena itu, mereka mencoba untuk memenangkan salah satu kontestan.
"Sementara di kalangan dosen, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta," ujarnya.
Dia menambahkan, faktor pendorong guru dan dosen tidak netral juga disebabkan oleh mobilisasi dukungan yang dilakukan oleh pejabat struktural atau kepala sekolah.
Berkaca dari faktor-faktor tersebut, Arie mengingatkan para guru dan dosen untuk berisikap netral dalam Pemilu 2024, apalagi menjadi bagian dari tim sukses seorang kontestan.
Sebab, tindakan tersebut tak hanya melanggar peraturan, tapi juga merusak suasa sekolah dan kampus seharusnya menjadi ruang bagi peserta didik menerima cakrawala ilmu yang yang rasional dan bebas dari kepentingan.
"Sekolah dan kampus hendaknya tidak dijadikan wadah propaganda berbasis sentimen politik tertentu. Diskusi politik di wilayah kampus hendaknya terbuka untuk semua kontestan dan tidak memberi privilese pada kepentingan politik tertentu," kata Arie.
Arie mewanti-wanti bahwa guru dan dosen yang pernah disanksi akibat pelanggaran netralitas, akan dijatuhi sanksi lebih berat apabila melakukan pelanggaran serupa dalam Pemilu dan Pilkada 2024.
Arie berharap Kemendikbudristek dan Kementerian Agama memberikan supervisi tentang pembinaan netralitas untuk para dosen dan guru. Pihaknya juga berharap para pejabat struktural dinas pendidikan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan jajaran, para kepala sekolah dan fungsional pengawas sekolah hendaknya menjadi garda terdepan dalam mengawal profesionalisme guru di tahun politik.