REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslim dianjurkan menjalankan puasa sunnah dengan segala keutamaannya. Akan tetapi, hendaknya dia tidak terlena dengan balasan puasa tersebut sehingga meninggalkan kewajiban dan lainnya.
Dikutip dari buku Keutamaan Asyura dan Bulan Muharram oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, sejumlah orang terlena dan tertipu dengan hanya berpegang pada keutamaan yang dapat menggugurkan dosa seperti puasa hari Asyura atau Arafah. Sampai-sampai mereka berdalih meninggalkan kewajiban dan melakukan dosa karena menganggap puasa Asyura akan menggugurkan semua dosa setahun penuh, dan puasa Arafah lebih bertambah lagi balasannya.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjawab orang yang tertipu ini apa tidak tahu puasa Ramadhan dan sholat lima waktu itu lebih besar dan lebih agung lagi daripada puasa Arafah dan Asyura. Hal ini dapat menggugurkan di antara amalan tersebut selama menjauhi dosa besar.
Ramadhan satu ke Ramadhan berikutnya, Jumat satu ke Jumat berikutnya, tidak akan mampu untuk menggugurkan dosa-dosa kecuali disertai dengan sikap meninggalkan dosa besar. Menggabungkan dua hal ini, yaitu beribadah dengan disertai meninggalkan dosa besar akan menguatkan digugurkannya dosa-dosa kecil.
Sejumlah orang yang tertipu mengira amal ketaatannya lebih banyak daripada kemaksiatannya. Karena ia tidak pernah mengintrospeksi keburukan dirinya dan memeriksa dosa-dosanya.
Apabila ia berbuat ketaatan, maka ia mengingatnya dan menghitungnya, seperti orang yang beristighfar dan bertasbih kepada Allah dengan lisannya sebanyak 100x dalam sehari, namun ia masih saja menggunjing kaum muslimin dan mengoyak-ngoyak kehormatan mereka serta berbicara dengan ucapan yang tidak diridhai Allah sepanjang hari.
Orang seperti ini mengharapkan keutamaan tasbih dan tahlil, namun ia tidak memperhatikan bagaimana akibat buruk bagi para penggunjing, pendusta lagi pengadu domba, juga keburukan lisan lainnya. Beginilah kondisi tertipu yang sebenarnya (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah).