REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar tenaga kerja Myanmar terus menderita akibat dampak krisis COVID-19, pengambilalihan kekuasaan oleh militer sejak 2021, dan gejolak sosial-ekonomi berikutnya, demikian menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
“Kondisi ketenagakerjaan di Myanmar tetap rapuh dan penuh tantangan dengan banyak pekerja menghadapi masa depan yang sangat tidak pasti,” kata Liaison Officer ILO Myanmar Donglin Li dalam keterangan tertulis, Kamis (27/7/2023).
“Pemulihan demokrasi tetap penting bagi prospek masa depan Myanmar dan rakyatnya dan merupakan prasyarat yang diperlukan untuk keadilan sosial dan pekerjaan yang layak,” ujar Li, menambahkan.
ILO mencatat bahwa pemulihan jumlah pekerjaan di beberapa sektor baru-baru ini, telah gagal mengimbangi pertumbuhan penduduk Myanmar. Akibatnya, penurunan yang signifikan terlihat pada rasio lapangan kerja terhadap populasi, yang sebesar 54,5 persen pada 2022, menjadi 8,2 poin persentase di bawah level tahun 2017.
Kualitas pekerjaan telah menurun dengan lebih banyak pekerja didorong ke sektor informal. Produktivitas tenaga kerja juga turun dengan perkiraan menunjukkan penurunan 8 persen pada 2021, dan penurunan lebih lanjut sebesar 2 persen pada paruh pertama 2022.
Dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan juga terungkap, dengan rasio pekerjaan terhadap populasi perempuan di Myanmar menurun dua kali lipat dibandingkan laki-laki.