REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua perlu mencukupi kebutuhan nutrisi dan memberikan stimulasi yang tepat sesuai kebutuhan anak. Namun, ada kalanya anak justru menunjukkan masalah makan (feeding difficulties).
Kesulitan makan dapat dicurigai ketika anak menunjukkan satu atau lebih gejala dan tanda seperti penolakan makan yang berlangsung lebih dari 1 bulan, waktu makan terlalu lama, waktu makan yang membuat stres, distraksi saat meningkatkan asupan, kurangnya pemberian makan mandiri yang tepat, pemberian ASI yang berkepanjangan, makan nokturnal, dan gagal maju ke tekstur makanan yang berbeda. Ternyata masalah ini umum dialami orang tua di Indonesia, bahkan di berbagai negara lain.
Tentu ini menyulitkan orang tua dan berpotensi menjadi masalah karena di masa-masa pertumbuhan, banyak zat gizi yang dibutuhkan anak. Masalah makan sendiri bisa disebabkan faktor lingkungan, perilaku atau psikologis anak, atau bisa juga disebabkan gangguan organik seperti gangguan saluran cerna. Dari perspektif gastrohepatologi, feeding difficulties bisa jadi disebabkan gangguan pada pencernaan sehingga memengaruhi nafsu makan anak dan rutinitas makan sehari-hari.
Beberapa gangguan pencernaan yang menyebabkan ketidaknyamanan anak saat makan dan membuat anak enggan makan yakni diare, muntah, sakit perut, demam, gastroesophageal reflux disease (GERD), intoleransi laktosa, atau gangguan gastrointestinal lainnya. Selain memengaruhi nafsu makan anak, gangguan-gangguan tersebut juga dapat membuat kesan tidak menyenangkan pada anak sehingga anak memiliki rasa takut ketika makan.
Pakar gastrohepatologi, Prof dr Badriul Hegar, SpA(K), PhD, menyebutkan masalah makan pada anak perlu menjadi perhatian karena dapat berdampak pada terganggunya pertumbuhan. “Konsumsi zat nutrisi yang tidak optimal, perkembangan juga terganggu, dan mempengaruhi emosinya,” ujar Prof Hegar dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (27/7/2023).
Istilah yang sering dipakai dan penerapannya pada masalah makan juga bervariasi, bahkan kadang tidak konsisten. Ada yang menyebutnya sebagai kesulitan makan, picky eater, selective eater, dan beberapa istilah lainnya.
“Kejadiannya bervariasi bergantung istilah dan umur yang digunakan, secara umum berkisar 20 sampai 70 persen pada anak usia di bawah 5 tahun. Meskipun sebagian besar disebabkan non organik, sebagai dokter dan orang tua perlu mewaspadai adanya alarm symptoms penyakit organik pada 20 sampai 30 persen anak dengan masalah makan,” ungkap Prof Hegar.
Beberapa kelainan organik yang menyebabkan masalah makan pada anak. Pertama, gangguan saluran cerna penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), kolik infantil, infeksi saluran cerna. Kedua, alergi makanan terutama terhadap protein susu sapi, atau bahan makanan lainnya seperti gluten pada penyakit seliak. Ketiga, gangguan perkembangan motorik dan sensorik juga memengaruhi kemauan makan, kesulitan mengunyah dan menelan makanan. Sebaiknya secara berkala kita mengevaluasi kemungkinan adanya kelainan organik pada anak yang belum memberikan respon terhadap tata laksana yang diberikan, minimal setiap 3 bulan.
"Tidak jarang kelainan organ yang tidak tertata laksana dengan maksimal, menyebabkan gangguan mind-set anak yang meninggalkan trauma terhadap makanan, sehingga meski kelainan organik telah teratasi, anak tetap mengalami masalah makan, menolak makanan yang diberikan,” ujarnya.
Dampak anak susah makan juga bisa digali dari perspektif tumbuh kembang. Anak yang susah makan berisiko mengalami malnutrisi yang berdampak pada tumbuh kembangnya termasuk melemahnya sistem imunitas. Akibatnya anak mudah terinfeksi dan memperburuk malnutrisi. Malnutrisi juga dapat menyebabkan pertumbuhan otak tidak optimal sehingga daya pikir pada anak lebih lambat.