Sabtu 29 Jul 2023 21:41 WIB

AirNav: Balon Udara Tradisional Pengganggu Penerbangan Turun Jumlahnya

Masyarakat semakin paham bahaya pelepasan balon udara secara liar.

Pemandu lalu lintas udara AirNav Indonesia memantau pergerakan lalu lintas udara pesawat melalui layar radar di menara kontrol (Air Traffic Controller/ATC) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (6/8).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pemandu lalu lintas udara AirNav Indonesia memantau pergerakan lalu lintas udara pesawat melalui layar radar di menara kontrol (Air Traffic Controller/ATC) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren atau frekuensi balon udara tradisional pengganggu penerbangan domestik di Tanah Air pada beberapa tahun terakhir menurun karena publik makin memahami bahaya jika balon udara dilepas liar.

"Belakangan ini frekuensinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun," kata Sekretaris Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (Perum LPPNPI) atau AirNav Indonesia Hermana Soegijantoro.

Baca Juga

Menurut Hermana, hal itu terjadi karena masyarakat sudah semakin mengerti dan memahami tentang bahaya yang dapat terjadi akibat pelepasan balon udara secara liar. Ia memberikan contoh, sepanjang 2017 hingga pertengahan 2023, perusahaannya menerima sedikitnya 385 laporan pilot perihal gangguan balon udara di jalur penerbangan Jakarta–Surabaya dan sebaliknya.    

Salah satu laporan pilot menyebutkan, secara visual pilot melihat balon udara melayang pada ketinggian 35 ribu kaki atau sekitar 10,6 kilometer di atas permukaan laut dan terus naik. "Tidak hanya satu balon yang terdeteksi, namun puluhan balon terlihat jelas di ruang udara pada rute penerbangan berkode navigasi W45 ini dan salah satu rute domestik tersibuk di dunia," kata Hermana.    

Ia menyebutkan, fenomena balon udara liar diklaim oleh sebagian besar masyarakat Kota Pekalongan maupun Kabupaten Wonosobo sebagai tradisi budaya lokal yang harus terus dipertahankan, khususnya momentum Syawalan atau seminggu (H+7) setelah Hari Raya Idul Fitri. Tidak sekadar diterbangkan, balon yang berbahan baku kertas minyak dan memanfaatkan asap pembakaran sekam padi untuk membuatnya melayang itu, juga kerap ditambahi petasan sebagai pernak-pernik yang membuatnya semakin atraktif.   

"Sudah banyak kasus kecelakaan karena aktivitas ini, tetapi tradisi itu masih ada hingga saat ini," kata dia.

Pemerintah, tambahnya, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Balon Udara Pada Kegiatan Budaya Masyarakat, mensyaratkan penggunaan balon udara tradisional oleh masyarakat dengan cara ditambatkan.

 

sumber : ANTARA
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement