Sabtu 29 Jul 2023 23:18 WIB

Penerbitan DHE, Ekonom: Kuatkan Stabilitas Rupiah dan Ketahanan Eksternal

Bank Indonesia mencatat adanya penurunan cadangan devisa pada Mei 2023.

Rep: Novita Intan/ Red: Lida Puspaningtyas
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengelar konferensi pers mengenai aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di Gedung Kemenko Ekonomi, Jumat (28/7/2023).
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengelar konferensi pers mengenai aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di Gedung Kemenko Ekonomi, Jumat (28/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) menilai pemberlakuan devisa hasil ekspor merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menguatkan stabilitas rupiah dan menjaga ketahanan eksternal di tengah tingginya ketidakpastian global.  

Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan pemberlakuan devisa hasil ekspor dapat membuat kondisi fiskal lebih tangguh karena seluruh hasil ekspor kembali di dalam negeri atau tidak lagi ditempatkan di luar negeri, sehingga menambah pundi-pundi cadangan devisa.

“Kebijakan ini akan mampu menambah cadev, namun penting untuk tidak menyamaratakan semua sektor SDA,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023). 

Per Juni 2023, Bank Indonesia mencatat adanya penurunan cadangan devisa, yakni dari 139,3 miliar dolar AS pada Mei 2023 menjadi 137,5 miliar dolar AS. Adapun kondisi tersebut seiring akibat melemahnya kinerja ekspor dan mendorong kurang optimalnya devisa hasil ekspor.

Sebelumnya Pemerintah memproyeksikan cadangan devisa akan meningkat sebesar 60 miliar dolar AS sampai dengan 100 miliar dolar AS pasca penerbitan aturan baru devisa hasil ekspor sumber daya alam. Adapun aturan baru tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2023 yang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 itu.

Aturan ini akan mewajibkan devisa hasil ekspor sumber daya alam dapat disimpan sistem keuangan dalam negeri minimal tiga bulan. Adapun nilai devisa ekspor yang wajib ditahan ini di atas 250.000 dolar AS.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan potensi ekspor sumber daya alam dari empat sektor, pertambangan, perikanan, perhutanan dan perkebunan, cukup besar. Pada 2022, penerimaan ekspor dari sektor-sektor ini sebesar 203 miliar dolar AS atau 69,5 persen dari ekspor.

“Potensinya besar dari data 2022, sumber daya alam dari empat sektor totalnya mencapai 203 miliar dolar AS atau 69,5 persen dari total ekspor, dan dengan ketentuan DHE SDA maka minimal 30 persen dari 203 miliar dolar AS sebesar 60 miliar dolar AS per tahun sampai dengan 100 miliar dolar AS,” ujarnya saat konferensi pers, Jumat (28/7/2023).

Airlangga merinci dari empat sektor tersebut pertambangan menyumbang kontribusi tertinggi sebesar 66 persen atau 133,98 miliar dolar AS. Disusul sektor perkebunan sebesar 18 persen atau 5,52 miliar dolar AS dan komoditas kelapa sawit menyumbang sebesar 27,8 miliar dolar AS atau 50,3 persen. 

Sektor kehutanan sebesar 11,9 miliar dolar AS atau 4,1 persen dan terbesar palm and paper industry. Terakhir, sektor perikanan sebesar 6,9 miliar dolar AS, mayoritas komoditas udang dan lainnya.

“Penerbitan aturan baru tersebut bertujuan pembangunan ekonomi, meningkatkan investasi, meningkatkan kualitas sumber daya alam, sekaligus menjaga stabilitas makro ekonomi dan pasar domestik,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement