REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, meminta agar dugaan kasus korupsi Basarnas dituntaskan. Kompetensi peradilan korupsi disebut ada di pengadilan umum bukan pengadilan militer.
Hal ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menyikapi polemik penetapan tersangka dan penangkapan Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian diakui KPK sebagai ada kesalahan prosedur dalam prosesnya.
Dalam siaran pers disebutkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan elemen organisasi sipil, di antaranya Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan kasus korupsi di Basarnas menunjukkan korupsi tidak mengenal latar belakang, baik sipil maupun militer. Dalam konteks itu, menurutnya, penting mengusut dugaan kasus-kasus korupsi, baik yang melibatkan perwira militer di semua instansi, baik di dalam maupun di luar lingkungan TNI.
“Diproses hukum siapapun tanpa memandang latar belakang jabatan bintang 1, bintang 2, bintang 3 semuanya harus diusut secara tuntas dan diproses hukum,” kata Gufron dalam siaran pers, Ahad (30/7/2023).
KPK harus berani untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang terjadi di Basarnas dan kasus-kasus korupsi lainnya yang melibatkan anggota TNI. "Tentu menjadi tidak tepat menyampaikan permohonan maaf oleh KPK sementara dasar hukum untuk KPK melakukan penyidikan dan proses hukum itu kuat,” ungkap dia.
Kasus ini, lanjut Gufron, bisa menjadi pintu masuk untuk mengusut tuntas kasus korupsi selain kasus Basarnas. Seperti sejauh mana KPK berperan dalam mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan.
Sementara aktivis Forum for the Facto, Feri Kusuma, mengatakan, UU 31 tahun 1997 sudah tidak sinkron dengan konstitusi Indonesia. Statemen Danpuspom yang menyatakan bahwa hanya penyidik militer yang bisa menersangkakan anggota militer bertentangan dengan konsitusi.
Menurutnya, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. "Siapapun dia, mau dari instansi militer, mau dari kementrain, lembaga negara, Presiden sekalipun harus tunduk pada prinsip atau azas negara hukum ini,” kata Feri.
Tindakan mendatangi KPK, menurut Feri, merupakan salah satu bentuk tindakan intimidatif terhadap proses penegakan hukum. Ditambah lagi, ada salah satu pimpinan KPK menyampaikan permintaan maaf.
Penanganan korupsi, kata Feri, adalah kompetensi peradilan umum. Dalam hal ini pengadilan tindak pidana korupsi. “Tidak ada sama sekali kompetensi Peradilan Militer untuk mengadili tindak pidana korupsi,” ungkapnya.
Feri menyebut UU Nomor 31 tahun 97 sebetulnya sudah expired. UU ini seharusnya tidak diberlakukan, karena banyak sekali norma hukum dalam UU ini yang tidak sesuai dengan pembaruan hukum pascareformasi. Salah satu contoh adalah penggunaan istilah Panglima ABRI. "Siapa yang dimaksud dengan panglima ABRI hari ini,” kata Feri.