REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis mengutuk kekerasan terhadap misi diplomatiknya di Niger dan berjanji bertindak keras pada setiap serangan terhadap warga negara atau kepentingan nasionalnya. Hal ini disampaikan setelah pengunjuk rasa anti-Prancis menerobos masuk ke Kedutaan Besar Prancis di Niamey, Niger.
"Presiden (Emmanuel Macron) tidak akan menoleransi setiap serangan terhadap Prancis dan kepentingannya," kata kantor Kepresidenan Prancis dalam pernyataannya, Ahad (30/7/2023).
Kantor tersebut menegaskan akan merespons serangan pada diplomat, angkatan bersenjata, atau bisnis Prancis. Dalam pernyataan terpisah Kementerian Luar Negeri Prancis mengecam kekerasan terhadap misi diplomatik dan mendesak pihak berwenang Niger melindungi misi Prancis sesuai dengan undang-undang internasional.
Dalam pernyataannya kantor kepresidenan Prancis mengatakan Macron sudah berbicara dengan Presiden Mohamed Bazoum yang digulingkan militer pekan lalu. Ia juga berbicara dengan mantan presiden Niger Mahamadou Issoufou.
Kantor tersebut menambahkan keduanya mengutuk kudeta dan meminta masyarakat untuk tenang. Prancis merupakan bekas penjajah Niger.
Pada Sabtu (29/7/2023) Prancis mengumumkan akan memotong semua bantuan pembangunan ke negara itu dan mendesak agar Bazaoum dikembalikan ke tampuk kekuasaan setelah ia dikudeta Rabu (26/7/2023) lalu. Sebelumnya Niger merupakan mitra keamanan Prancis dan Amerika Serikat (AS). Dua negara itu menggunakan Niger sebagai pangkalan untuk memberantas pemberontakan di kawasan Afrika Barat dan Tengah di Sahel.