REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan yang meminta masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) dibatasi maksimal 10 tahun. Alhasil, masa jabatan ketum parpol tetap berdasarkan regulasi internal partai politik meski ada parpol yang memperbolehkan ketua umumnya menjabat hingga puluhan tahun.
Gugatan tersebut kandas karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. "Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan konklusi putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Gugatan nomor 69/PUU-21/2023 diajukan oleh warga Nias bernama Eliadi Hulu, Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) bernama Saiful Salim, Andreas Laurencius yang mengaku sebagai pengurus badan penanggulangan bencana DPP Partai Golkar, dan anggota Partai Nasdem bernama Daniel Heri Pasaribu.
Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 23 ayat 1 UU Parpol yang berbunyi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART." Sebab, mereka merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak ada batas masa jabatan ketum parpol dalam pasal tersebut.
Mereka meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut menjadi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."
Hakim konstitusi Guntur Hamzah mengatakan, Eliadi Hulu dan Saiful Salim tidak punya legal standing karena bukan anggota partai politik. Meski keduanya mengaku ingin bergabung menjadi anggota partai politik, tapi belum ada langkah konkret. Dengan demikian, kualifikasi keduanya tidak jelas terkait potensi kerugian hak konstitusional akibat berlakunya Pasal 23 ayat 1 UU Parpol.
Guntur melanjutkan, pemohon Andreas Laurencius juga tidak memiliki legal standing karena tidak bisa membuktikan bahwa dirinya merupakan anggota Partai Golkar, apalagi pengurus Partai Golkar. Dalam persidangan, Andres tidak bisa menunjukkan kartu tanda anggota Partai Golkar.
Adapun pemohon Daniel Heri Pasaribu, lanjut Guntur, bisa membuktikan bahwa dirinya anggota Partai Nasdem. Namun, Daniel tetap tidak punya legal standing karena dia bukan merupakan pengurus Partai Nasdem.
Guntur mengatakan, lantaran semua pemohon tidak punya legal standing, maka mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. Di sisi lain, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam alasan berbedanya (concurring opinion) mengatakan, apabila seandainya para pemohon memiliki kedudukan hukum, tetap saja gugatan mereka kandas.
"Seandainya para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), quod non, pokok pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga norma a quo tetap konstitusional," kata Arief Hidayat.
Gugatan terkait masa jabatan ketum parpol ini sempat membuat sejumlah elite parpol meradang. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto, misalnya, menyebut bahwa penggugat adalah "orang salah makan obat".
Pacul menegaskan bahwa undang-undang telah menjamin bahwa partai politik berhak mengatur urusan internalnya berlandaskan pada AD/ART. Sebagai catatan, Megawati Soekarnoputri telah menjabat sebagai Ketua Umum PDIP selama 24 tahun, tepatnya sejak tahun 1999.