Senin 31 Jul 2023 18:09 WIB

Para Pakar Ungkap Buruknya Presidential Threshold

Gugatan terhadap ambang batas presiden sudah diajukan ke MK sebanyak 30 kali.

Rep: Eva Rianti/ Red: Agus raharjo
Presiden Partai Buruh Said Iqbal (ketiga dari kiri) bersama tim kuasa hukumnya menyampaikan keterangan pers soal rencana partai tersebut mengajukan  gugatan uji materi atas pasal terkait presidential threshold, di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Foto: Republika/Febryan A
Presiden Partai Buruh Said Iqbal (ketiga dari kiri) bersama tim kuasa hukumnya menyampaikan keterangan pers soal rencana partai tersebut mengajukan gugatan uji materi atas pasal terkait presidential threshold, di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pakar tata negara dan kebijakan publik mengungkapkan buruknya kebijakan Presidential Threshold (PT) 20 persen. Kebijakan itu dinilai tidak perlu ada di negara Indonesia karena membuat 'pincang' proses ketatanegaraan.

Proses judicial review penghapusan PT pun hingga kini masih bergulir, setelah diajukan hingga 30 kali. "Proses judicial review ini bukan soal bicara persentase memang PT harusnya enggak ada. Istilah itu mendingan kita hilangkan, ambang batas pun istilahnya kita lenyapkan dari semua peraturan perundang-undangan di negara ini," kata Peneliti Hukum Tata Negara sekaligus Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti dalam FGD 'Menolak Presidential Threshold di kawasan Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).

Baca Juga

 

Bivitri mengatakan, upaya pengajuan penghapusan PT perlu untuk terus digulirkan. Menurutnya, memang perlu dilakukan upaya 'perlawanan' yang lebih masif kepada Mahkamah Konstitusi (MK) karena PT merupakan kebijakan yang tidak demokratis.

 

"Salah satu kontributor terbesar dalam politik kartel di negara ini dan juga menyuburkan oligarki memang PT ini, jadi memang harus diberantas," tegas dia.

Menurut Bvitri, ini momentum yang tepat karena MK sudah makin keliatan inkonsistensinya. "Dari dulu mereka bilang 'oh ini adalah open legal policy kebijakan hukum terbuka, terserah pembuat UU mau dibikin 20 persen, mau ditiadakan kek, tapi sesungguhnya argumen itu sangat keliru," tutur dia.

 

Pakar Tata Negara Refly Harun mengungkapkan hal yang senada. Upaya judicial review penghapusan PT harus terus dilakukan, mengingat sudah diupayakan puluhan kali tapi belum juga dikabulkan MK.

 

"Saya mendukung PT ini diajukan kembali walaupun sudah gagal 30 kali. Kalau gagal 30 kali dan kembali diajukan, pertanyaannya, yang bodoh siapa? Apakah pengadilan, pemohonnya, ataukah MK yang sebenarnya tidak benar dalam meluruskan sesuatu," tutur Refly.

 

Dia menegaskan, jika bicara tentang sense of justice atau rasa keadilan, seharusnya MK peka bahwa memang ada yang salah. Penghapusan PT dinilai sebagai upaya menjaga demokrasi dan kewarasan konstitusi.

 

"Kita appear kepada demokrasi untuk menjaga konstitusi. Bukan menjadi penjaga oligarki, bukan menjadi penjaga istana, bukan menjadi penjaga elite karena PT bukan hanya soal Partai Buruh, bukan hanya persoalan semua partai politik tetapi persoalan semua bangsa Indonesia karena kita menginginkan presiden yang baik dan itu bisa dicapai kalau ada kompetisi yang terbuka, jujur, dan adil," tegas dia.

 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menuturkan, judicial review penolakan PT memang sudah dilakukan sekitar 30 kali ke MK. Perludem juga pernah melakukan uji materi pada 2017 yang lalu. Namun MK lagi-lagi mengatakan bahwa itu merupakan open legal policy atau kewenangan pembuat UU.

 

"MK menyatakan bahwa penerapan ambang batas ini juga memperkuat ambang sistem presidensil, saya belum menemukan landasan teorinya di mana adanya ambang batas pencalonan presiden dengan sistem presidensil. Karena justru dengan adanya ambang batas pencalonan ini, itu menjadi tidak murni lagi sistem presidensilnya," ujar dia.

 

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa setuju dengan PT 0 (nol) persen alias tidak ada. Menurut penuturannya, pihak yang tidak setuju dengan hal itu mengkhawatirkan banyaknya calon presiden, padahal tidak masalah.

 

"Menurut saya, kalau calon yang banyak, kenapa gitu? Saya rasa kalaupun sekarang ada 18 partai politik, kemudian ambang batas pencalonan jadi nol, saya rasa parpol akan berpikir juga apakah mau mencalonkan atau tidak. Jadi, menurut saya tidak perlu khawatir dengan nanti calon banyak," tutur dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement