REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menyoroti respons Presiden Joko Widodo terkait peristiwa hukum yang melibatkan militer dalam penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hendardi mengatakan, setidaknya tiga respons Jokowi yaitu akan mengevaluasi sistem pengadaan barang dan jasa, akan mengevaluasi penempatan militer pada jabatan sipil dan menyebut kisruh KPK hanya persoalan koordinasi.
Menurut Hendardi, respons Jokowi tersebut menunjukkan lemahnya pemihakan Jokowi pada prinsip kesamaan di muka hukum prinsip pelembagaan antara militer dan sipil serta agenda pemberantasan korupsi. Sebab, mengacu ketentuan yang ada di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer membuat anggota TNI berpotensi lolos jerat hukum pidana.
"Jokowi tidak menangkap fakta potensi impunitas yang selama ini melekat pada oknum TNI yang melakukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana umum lainnya," ujar Hendardi dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (1/8/2023).
Hendardi menilai, Presiden semestinya melakukan langkah nyata pembaruan sistem peradilan militer. Hal ini karena ketentuan UU masih memberikan privilege hukum bagi anggota TNI.
"Jokowi tidak cukup hanya mengevaluasi sistem pengadaan barang dan jasa atau procurement serta penempatan TNI pada jabatan sipil, tetapi juga melakukan langkah nyata pembaruan sistem peradilan militer," ujarnya.
Menurutnya, pembiaran praktik dan perlakuan ketidaksamaan di muka hukum telah mengafirmasi asumsi banyak pihak tentang transparansi dan akuntabilitas yang tidak berlaku pada sektor keamanan.
"Praktik pengadaan barang dan jasa termasuk pengadaan alutsista di institusi TNI, Kementerian Pertahanan dan institusi sektor keamanan lainnya, sulit memenuhi kewajiban standar transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga pascapenetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK.
Desakan evaluasi penempatan perwira militer aktif ini muncul usai KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Namun pada Jumat (28/7/2023), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI. Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.