REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendaftaran International Mobile Equipment Identity (IMEI) ke sistem pengelolaan Central Equipment Identity Register (CEIR) dikelola oleh empat institusi, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan serta operator seluler.
Adapun registrasi IMEI bisa dilakukan lewat empat cara, yaitu melalui operator seluler di mana bisa digunakan untuk setiap turis asing yang masuk ke wilayah Indonesia dan berlaku selama 90 hari. Kemudian, melalui Kominfo, di mana cara ini hanya bisa diakses oleh tamu VIP ataupun VVIP kenegaraan.
Selanjutnya, melalui Bea dan Cukai, cara ini untuk masyarakat umum yakni melalui pembelian ponsel dari luar negeri yang masuk ke pelabuhan atau masuk ke bandara bisa didaftarkan lewat Bea Cukai. Terakhir melalui Kemenperin, khusus bagi para pengusaha yang memproduksi ponsel ataupun melakukan importasi ponsel.
"Jadi, sepertinya ada yang mengakses akun kami. Kami kan punya akun untuk mengusulkan nomor IMEI itu. Ya, didugalah dia (oknum) memasukkan nomor-nomor IMEI ilegal itu. Nah, itu caranya. Jadi, makanya perbuatannya itu, mengakses akses IMEI secara ilegal. Makanya yang dipakai undang-undang ITE, bukan undang-undang tindak pidana korupsi," ungkap Juru Bicara (Jubir) Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di Kantor Kementerian Perindustrian di Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut, Febri pun menyambut rencana Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menonaktifkan atau shutdown ponsel atas kasus pelanggaran aturan IMEI yang melibatkan pegawai di Kemenperin. Namun, ia mengaku belum berkoordinasi lebih lanjut dengan kepolisian.
Ia juga menyebut sejatinya Kemenperin pernah melayangkan surat ke pengelola CEIR untuk menonaktifkan IMEI-IMEI yang diduga ilegal. "Kalau Bareskrim mau mengirimkan itu berdasarkan proses hukum, itu akan lebih bagus. Nah, sekarang siapa yang punya otoritas menekan tombol on-off di IMEI itu? Itu ada di pengelola CEIR sama operator seluler," kata Febri.