REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Delegasi Amerika Serikat (AS) dan penguasa Afghanistan Taliban bertemu di ibu kota Qatar, Doha, pada Ahad dan Senin (30-31/7/2023). Dalam pertemuan ini membahas sejumlah masalah pelik antara kedua pihak yang bertikai sebelumnya, termasuk sanksi ekonomi, hak asasi manusia, dan daftar hitam beberapa pemimpin Taliban.
“Membangun kepercayaan antara kedua belah pihak, mengambil langkah praktis ke arah ini, menghapus daftar hitam dan sanksi, membebaskan simpanan bank Afghanistan, menjaga stabilitas ekonomi Afghanistan, memerangi narkoba dan hak asasi manusia dibahas,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Afghanistan dikutip dari Anadolu Agency.
Delegasi Afghanistan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Taliban Maulvi Amir Khan Muttaqi, termasuk perwakilan Kementerian Keuangan dan Bank Afghanistan, serta pejabat Kedutaan Besar Afghanistan. Sedangkan delegasi AS yang beranggotakan 15 orang dipimpin oleh Utusan Khusus AS untuk Afghanistan Thomas West.
Pihak Afghanistan menegaskan kembali pentingnya membangun kepercayaan guna menghapus daftar hitam dan membuka cadangan bank negara itu. Dengan membuka cadangan dana itu dinilai akan membuat warga Afghanistan dapat membangun ekonomi mereka sendiri tanpa bantuan asing.
Menurut Kabul, bantuan kemanusiaan, perjalanan gratis ke Afghanistan, dan layanan konsuler yang menjangkau warga Afghanistan di manapun di dunia juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Sedangkan menurut keterangan Departemen Luar Negeri AS, delegasi membahas keadaan ekonomi Afghanistan dan tantangan yang dihadapi sektor perbankan dengan perwakilan Bank Sentral Afghanistan dan Kementerian Keuangan Afghanistan.
"Pejabat AS mencatat data terbaru yang menunjukkan penurunan inflasi, pertumbuhan ekspor dan impor barang dagangan di Afghanistan pada tahun 2023, dan segera menyuarakan keterbukaan untuk dialog teknis mengenai masalah stabilisasi ekonomi," ujar pernyataan Washington.
Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada 15 Agustus 2021, ketika pejabat pemerintah resmi yang didukung AS melarikan diri dari negara itu dan pasukan asing mundur. Sejak itu, AS memberlakukan sanksi terhadap pemerintah sementara Afghanistan. Sejak saat itu, negara-negara, termasuk AS, belum mengakui pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
"Pertemuan itu tidak menunjukkan adanya perubahan dalam kebijakan AS," kata wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel dalam konferensi pers ketika ditanya tentang pertemuan itu.
“Kami telah sangat jelas bahwa kami akan terlibat dengan Taliban dengan tepat ketika itu adalah kepentingan kami untuk melakukannya. Ini tidak dimaksudkan sebagai indikasi pengakuan atau indikasi normalisasi atau legitimasi Taliban,” ujarnya.
Patel menjelaskan, pertemuan dengan Taliban ini sarana menyampaikan kekhawatiran tentang kemunduran di Afghanistan, termasuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan dan anak perempuan. "Semua hal itu dan banyak lainnya terus menjadi perhatian besar AS," ujarnya.