REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Pemerintah Swedia tidak memiliki rencana mengubah undang-undang kebebasan berbicara. Swedia akan mengambil langkah yang akan memungkinkan polisi untuk menghentikan pembakaran kitab suci di depan umum jika ada ancaman terhadap keamanan nasional.
“Kami membela kebebasan berbicara Swedia,” ujar Perdana Menteri Ulf Kristersson dalam konferensi pers pada Selasa (1/8/2023), dilaporkan Aljazirah.
Namun Kristersson mendesak masyarakat untuk menggunakan kebebasan berbicara secara bertanggung jawab dan hormat. “Di negara bebas seperti Swedia, Anda memiliki banyak kebebasan. Tetapi dengan tingkat kebebasan yang besar itu, maka ada tanggung jawab yang besar," kata Kristersson.
Kristersson mengatakan, pemerintah untuk sementara akan meningkatkan keamanan internal dan kontrol perbatasan, termasuk memberikan wewenang yang lebih luas kepada polisi untuk menghentikan dan menggeledah orang.
Penistaan Alquran terjadi secara berulang di Swedia dan Denmark dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini memicu kemarahan di negara-negara Muslim dan menuntut pemerintah Nordik menghentikan insiden pembakaran Alquran atau kitab suci agama lain.
Polisi mengizinkan pembakaran Alquran berdasarkan undang-undang kebebasan berbicara. Pemerintah Swedia dan Denmark mengatakan, mereka sedang mempelajari cara-cara untuk membatasi tindakan semacam itu dalam upaya untuk mengurangi ketegangan.
Di Denmark, Badan Keamanan dan Intelijen (PET) meyakini bahwa insiden pembakaran Alquran telah menyebabkan peningkatan risiko serangan. Sementara pada Senin (31/7/2023) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengadakan pertemuan luar biasa untuk membahas perkembangan terakhir yang mengecam keras pembakaran Alquran di Swedia dan Denmark.
OKI meminta negara-negara anggota untuk mengambil tindakan yang tepat, baik politik maupun ekonomi, di negara-negara yang mengizinkan penistaan kitab suci. Usai pertemuan, menteri luar negeri Denmark dan Swedia secara terpisah mengatakan mereka akan melanjutkan dialog dengan OKI.