REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mengapresiasi kepolisian yang menetapkan pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang sebagai tersangka kasus penistaan agama. Ia berharap tidak terus terjadi polemik dan kegaduhan di masyarakat.
"Iya tentu pertama kita bersyukur karena itu yang kita harapkan di awal untuk ditetapkan sebagai tersangka. Mudah-mudahan proses selanjutnya lancar," ucap Sekretaris MUI Jabar Rafani Akhyar saat dihubungi, Rabu (2/8/2023).
Dengan penetapan tersangka terhadap Panji Gumilang, ia berharap polemik dan kegaduhan berhenti. Ia pun menduga terjadi upaya memecah belah MUI.
"Tidak terus menimbulkan polemik yang melahirkan kegaduhan," kata dia.
Rafani mengatakan MUI menyerahkan sepenuhnya proses hukum terhadap Panji Gumilang kepada aparat kepolisian. Ia pun tidak akan melakukan intervensi hukum atas kasus tersebut.
"Bagi kami bersyukur walau kami tidak akan melakukan intervensi hukum dan menyerahkan sepenuhnya ke penegak hukum," kata dia.
Sebelumnya, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama dan dilakukan penangkapan. Penetapan status ini dilakukan usai Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri melakukan gelar perkara dan memiliki cukup alat bukti untuk menjadikan Panji Gumilang sebagai tersangka.
"Hasil dalam proses gelar perkara, semua menyatakan sepakat untuk menaikan saudara PG sebagai tersangka dan selanjutnya pada pukul 21.15 WIB, penyidik langsung memberikan surat perintah penangkapan disertai penetapan sebagai tersangka,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Saat ini, Panji Gumilang menjalani pemeriksaan lebih lanjut sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Dalam kasus ini Panji Gumilang disangkakan dengan pasal pasal 14 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang perkuhap, dengan ancamannya 10 tahun penjara. Kemudian, Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara dan Pasal 156a KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.