REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel menahan lebih dari 1.200 warga Palestina tanpa dakwaan atau proses pengadilan. Kelompok hak asasi manusia, Hamoked, mengungkapkan, jumlah warga Palestina yang ditahan saat ini adalah yang tertinggi dalam lebih dari tiga dekade.
Hamoked mengatakan, 99 persen tahanan adalah warga Palestina. Mereka ditahan di bawah kebijakan penahanan administratif Israel, atau penahanan tanpa proses pengadilan. Direktur Eksekutif Hamoked, Jessica Montell mengatakan, mereka dapat ditahan dalam jangka waktu beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Pihak berwenang Israel kerap memperpanjang masa tahanan tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuat tahanan atau pengacara mereka hampir tidak mungkin mengajukan pembelaan yang layak.
"Ini jelas merupakan praktik ilegal. Orang-orang ini harus diadili secara adil atau dibebaskan," ujar Montell.
Otoritas Israel dapat memperbarui penahanan administratif tanpa batas waktu. Sementara perintah penahanan biasanya ditetapkan untuk jangka waktu tiga atau enam bulan. Montell mengatakan, tahanan administratif di Israel rata-rata menghabiskan masa penahanan selama satu tahun.
Israel mengatakan, taktik kontroversial itu diperlukan untuk menahan militan berbahaya dan menghindari membocorkan materi yang memberatkan demi alasan keamanan. Namun, warga Palestina dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, sistem itu menyangkal proses hukum dan disalahgunakan secara luas.
Jumlah tahanan administratif meningkat lebih dari dua kali lipat sejak awal tahun lalu, ketika Israel mulai melakukan serangan penangkapan hampir setiap malam ke kota-kota Palestina. Hamoked mengatakan, seperempat dari total tahanan sekarang menjadi tahanan administratif.
Penahanan administratif sangat jarang digunakan terhadap orang Yahudi atau Israel. Montell mengatakan, sebanyak 14 orang Israel ditahan dalam penahanan administratif per Maret. Kebanyakan dari mereka adalah warga Palestina-Israel. Tetapi, beberapa tahanan adalah orang Yahudi yang dicurigai melakukan kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Dinas keamanan Israel, Shin Bet, maupun tentara belum memberikan komentar terkait angka penahanan administratif terbaru yang dirilis oleh Hamoked.
Israel mengatakan, operasi militernya di wilayah pendudukan dimaksudkan untuk membasmi militansi dan menggagalkan serangan pada masa depan. Dalam satu setengah tahun terakhir beberapa pertumpahan darah terburuk terjadi di wilayah pendudukan Tepi Barat dalam hampir dua dekade. Menurut penghitungan the Associated Press, lebih dari 160 warga Palestina tewas dalam pertempuran tahun ini.
Israel mengeklaim sebagian besar warga Palestina yang tewas adalah militan. Tetapi, banyak pemuda pelempar batu yang memprotes penyerangan atau orang-orang yang tidak terlibat dalam kekerasan ikut gugur. Setidaknya lima dari mereka berusia 14 tahun atau lebih muda.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir telah mendorong tindakan keras terhadap tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Pada Senin (31/7/2023), Klub Tahanan Palestina dan kelompok advokasi lainnya melaporkan bahwa Ben-Gvir telah menghapus kebijakan yang memungkinkan pembebasan dini bagi tahanan Palestina yang ditahan atas tuduhan keamanan nasional.
Selama bertahun-tahun, semua tahanan yang dijatuhi hukuman kurang dari empat tahun telah memenuhi syarat untuk dibebaskan lebih awal untuk mengurangi kepadatan di penjara negara tersebut. Layanan penjara Israel mengonfirmasi bahwa mereka mematuhi perintah Ben-Gvir.
Tepi Barat berada di bawah kekuasaan militer Israel sejak merebut wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967. Hampir 3 juta penduduk Palestina di wilayah itu tunduk pada sistem peradilan militer Israel. Sementara hampir 500.000 pemukim Yahudi yang tinggal bersama mereka memiliki kewarganegaraan Israel dan tunduk pada pengadilan sipil. Kesenjangan seperti itu telah memicu tuduhan bahwa kebijakan Israel terhadap Palestina sama dengan apartheid.