REPUBLIKA.CO.ID, HALMAHERA UTARA -- Universitas Gadjah Mada tengah mengembangkan kawasan rempah di Maluku Utara, khususnya di Halmahera Utara (Halut) dengan konsep kosmopolis. Diawali dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) kolaborasi, mahasiswa yang dikirim ke Halut menciptakan berbagai inovasi guna mendukung kosmopolis rempah.
KKN kolaborasi ini digelar bersama dengan pemda serta beberapa perguruan tinggi yakni Universitas Khairun (Unkhair) dan Universitas Halmahera (Uniera). KKN ini dengan lokus ada di tiga desa di Halut yakni Desa Ngidiho, Desa Pitu, dan Desa Gorua Selatan.
Koordinator Mahasiswa Sub Unit (Komanit) Desa Ngidiho, Kecamatan Galela Barat, Halut, Maluku Utara, Syamil Maududi mengatakan, ada berbagai inovasi yang diciptakan untuk mendukung kosmopolis rempah di Halut. Salah satunya membuat produk olahan buah pala menjadi produk UMKM unggulan.
Hal ini mengingat buah pala menjadi rempah unggulan di Halut. Mahasiswa KKN di Desa Ngidiho berinovasi memanfaatkan buah pala menjadi selai.
Inovasi tersebut berangkat dari keprihatinan banyaknya warga yang membuang buah (daging) pala, dan hanya memanfaatkan biji pala. Sementara, buah pala tersebut bisa dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan pangan.
"Buah pala itu memiliki cita rasa yang asam, dan itu mirip-mirip dengan nanas. Kita mendorong supaya buah pala itu tidak hanya dibuang sia-sia, diambil hanya bijinya untuk bumbu masakan, namun juga dimanfaatkan buah palanya sebagai produk UMKM unggulan di Ngidiho," kata Syamil saat ditemui di Desa Ngidiho, Kecamatan Galela Barat, Halut, Maluku Utara, Kamis (3/8/2023).
Inovasi lainnya yang diciptakan di Desa Ngidiho yakni pengelolaan sampah secara pirolisis dalam rangka mendukung pengolahan sampah terpadu. Inovasi ini diciptakan mengingat masih banyaknya warga di Desa Ngidiho yang membakar sampah, dan masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar.
"Kalau pirolisis itu kita ubah sampah plastik jadi minyak. Harapannya bisa mengurangi ketergantungan terhadap minyak (tanah), dan kebiasaan masyarakat disini memang sampah itu dibakar saja. Jadi kita manfaatkan bersama supaya itu kan juga berpengaruh kepada nilai ekonomi juga," ujar Syamil.
Tidak hanya itu, pemanfaatan teknologi Internet of Thing (IoT) untuk mendeteksi kualitas air juga diterapkan di desa ini. Di Desa Ngidiho masih banyak sumber air warga yang belum diketahui kualitasnya, sehingga mahasiswa KKN kolaborasi melakukan inovasi untuk memastikan kualitas air utamanya yang dikonsumsi warga terjamin.
"Disini masih banyak sumber air yang kita belum tahu kualitasnya, sehingga kami ingin mendeteksi kualitas itu supaya bisa mendorong aspek kesehatan masyarakat," ungkapnya.
Total ada 54 mahasiswa yang diterjunkan dalam program KKN di tiga desa tersebut. Khusus untuk Desa Ngidiho, ada 20 mahasiswa yang dilibatkan, dengan rincian 12 mahasiswa dari UGM, lima mahasiswa dari Uniera, dan tiga mahasiswa dari Unkhair.
"Kita juga membuat peta kerawanan bencana dan pemasangan plang sebagai upaya mitigasi bencana, plangnya sudah siap. Pelatihan dan sosialisasi budi daya tanaman hortikultura menggunakan sistem yang modern juga dilakukan," kata Syamil.
Diharapkan inovasi-inovasi tersebut diteruskan oleh warga setempat, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan nilai komoditas lokal berupa rempah khususnya pala. Selain itu, juga diharapkan dapat mendorong peningkatan perekonomian warga sekitar.
Syamil menuturkan, pihaknya akan terus memantau keberlanjutan dari inovasi yang sudah dihasilkan meski program KKN sudah berakhir nantinya. Pihaknya juga sudah melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada pemuda di Desa Ngidiho untuk menjadi kader agar apa yang sudah dilakukan tidak berhenti setelah program KKN selesai dilakukan.
"Kami terus mendampingi dari masyarakat untuk selalu melanjutkan seperti itu, intinya bagaimana supaya ini tetap jalan. Pemuda disini diberi pelatihan sebagai kader, dan melanjutkan apa yang kita jalankan disini, akan kita pantau terus (dari jarak jauh) ke depan," ujarnya.
Camat Galela Barat, Abdul Wadud Umar Show mengatakan, warga di Desa Ngidiho masih belum memanfaatkan buah pala secara maksimal. Warga sekitar hanya memanfaatkan biji dan fuli (salut biji) dari pala, dan membuang buah atau daging pala. "(Buah) Palanya tidak dipakai, (padahal) bisa dibuat jadi selai," kata Abdul.
Warga sekitar juga sebagian hanya menjual biji dan fuli pala tersebut ke tengkulak. Hal ini juga dikarenakan kebiasaan masyarakat yang ingin menjual cepat, tanpa mengolah atau memanfaatkan pala. "Satu kilo sekitar Rp 25 ribu," ujarnya.
Ia pun mengapresiasi adanya inovasi-inovasi yang dimunculkan agar bagian pala yang biasanya tidak diolah dapat dijadikan produk UMKM unggulan khususnya di Desa Ngidiho. Terlebih, untuk panen pala sendiri juga tergantung musim.
"Pala itu berbuahnya kadang satu tahun tidak panen, kalau normal (biasanya sekali) dalam setahun. Satu kebun bisa 50 pohon itu bisa Rp 25 juta kalau itu musimnya (saat panen). Ada juga yang tiap tiga bulan sekali (panennya), kalau musim panas cepat panen, kalau musim hujan agak lama, dan kadang terganggu hama," ungkapnya.