Jumat 04 Aug 2023 19:44 WIB

Kedubes Pakistan di Jakarta Gelar Acara Peringatan Hari Eksploitasi Kashmir

India mencabut status khusus Kashmir pada Agustus 2019.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Muhammad Hassan saat memberikan pidato dalam acara Youm-e-Istehsal (Hari Eksploitasi Kashmir) yang digelar di Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta, Jumat (4/8/2023). Dalam acara itu diadakan pameran foto dan pemutaran film dokumenter memperlihatkan penderitaan penduduk Kashmir. (Kamran Dikarma
Foto: Republika/Kamran Dikarma
Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Muhammad Hassan saat memberikan pidato dalam acara Youm-e-Istehsal (Hari Eksploitasi Kashmir) yang digelar di Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta, Jumat (4/8/2023). Dalam acara itu diadakan pameran foto dan pemutaran film dokumenter memperlihatkan penderitaan penduduk Kashmir. (Kamran Dikarma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kedutaan Besar (Kedubes) Pakistan di Jakarta menggelar acara untuk memperingati Youm-e-Istehsal (Hari Eksploitasi Kashmir), Jumat (4/8/2023). Dalam acara tersebut diadakan pameran foto dan pemutaran film dokumenter yang memperlihatkan penderitaan penduduk Kashmir.

“Youm-e-Istehsal berfungsi sebagai hari peringatan solidaritas saat rakyat Pakistan berdiri bersama saudara-saudari Kashmir mereka,” kata Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Muhammad Hassan dalam sambutannya.

Baca Juga

Hassan mengungkapkan, Kashmir merupakan zona termiliterisasi paling padat. Dia mengatakan India mengerahkan sekitar 1 juta tentara ke wilayah tersebut dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap penduduk di sana.

Hassan pun menyoroti keputusan India mencabut status khusus Kashmir pada Agustus 2019. “Sejak 5 Agustus 2019, Kashmir telah diubah menjadi penjara dan sel penyiksaan terbesar di dunia,” ucapnya.

Menurut Hassan, pencabutan status khusus Kashmir oleh India merupakan perampokan paling terbesar dan mengerikan. Dia menilai, pencabutan status khusus itu juga serangan terhadap identitas, budaya, dan hak-hak dasar warga Kashmir.

Hassan mengatakan, dibutuhkan tekanan dari komunitas internasional agar India menghentikan kekejamannya terhadap penduduk Kashmir. "Tekanan internasional adalah hal terpenting. Tekanan politik, tekanan moral," ujarnya. 

Dalam acara peringatan Youm-e-Istehsal, Kedubes Pakistan turut mengundang Ketua Kashmir Forum Indonesia Zahir Khan. “Masalah Kashmir tidak akan timbul jika Pemerintah India menaati janji-janjinya sendiri sewaktu pemerintah kolonial Inggris memberikan kemerdekaan tahun 1947, menjadi dua negara, yaitu India dan Pakistan,” ucap Zahir dalam pidatonya.

Dia menjelaskan, pada 1947, Inggris, Pakistan, dan India menyetujui bahwa dasar dari partisi atau pemisahan India-Pakistan didasarkan pada mayoritas agama yg dipeluk oleh masing-masing negara bagian. “Berdasarkan syarat-syarat dari partisi tersebut, maka Kashmir seharusnya secara otomatis masuk dan bergabung dengan negara Pakistan, yang diproklamasikan pada tanggal 14 Agustus 1947. Bahkan rakyat Kashmir merayakan kemerdekaan Pakistan secara besar-besaran pada 15 Agustus 1947,” katanya.

Kashmir yang dikelola India sempat dibekap ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi memutuskan mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus 2019. Kashmir adalah satu-satunya wilayah di India berpenduduk mayoritas Muslim. Pencabutan status khusus itu segera ditolak warga Kashmir. Mereka khawatir langkah demikian akan mengubah komposisi demografis di sana.

Warga akhirnya turun ke jalan dan menggelar demonstrasi. Unjuk rasa berlangsung di beberapa daerah di wilayah Kashmir yang dikelola India. Pemerintah merespons aksi massa tersebut dengan mengerahkan pasukan ke sana. Tak hanya itu, jaringan televisi dan telekomunikasi, termasuk internet, dipadamkan. Kashmir diisolasi dari dunia luar. 

Pakistan, sebagai negara tetangga dengan mayoritas penduduk Muslim, turut memprotes keputusan India mencabut status khusus Kashmir. Kala itu Islamabad memutuskan membekukan semua aktivitas perdagangan dan menurunkan level hubungan diplomatiknya dengan New Delhi.

Setelah status khususnya dicabut, pada 2020, India menerbitkan undang-undang (UU) domisili. Lewat UU tersebut, setiap warga negara India yang telah tinggal di Kashmir selama setidaknya 15 tahun atau menempuh pendidikan selama tujuh tahun, dapat menjadi penduduk tetap di sana.

Pada 2020, Pemerintah India juga melonggarkan aturan bagi tentaranya untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun permukiman “strategis”. Otoritas India menyebut hak tinggal baru sebagai tindakan yang terlambat untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih besar. Namun para kritikus berpendapat langkah itu dapat mengubah susunan populasi di Kashmir.

Banyak warga Kashmir khawatir masuknya “orang luar” dapat mengubah hasil plebisit jika peristiwa itu terjadi. Meskipun resolusi PBB tahun 1948 menjanjikan Kashmir dapat menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan India atau Pakistan.

Sebagian besar Muslim Pakistan mendukung gagasan untuk menyatukan wilayah tersebut dengan Pakistan. Jika tidak, mereka lebih memilih menjadi negara merdeka dibandingkan harus bergabung dengan India. Pemerintah India telah menuduh Pakistan mensponsori “terorisme” di Kashmir. Islamabad membantah tudingan tersebut.

Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan oleh Line of Control (LOC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement