REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Muhammad Hassan meminta Indonesia agar berbicara dengan India agar menghentikan aksi kekerasan yang dilakukannya terhadap penduduk Muslim di Kashmir. Menurut Hassan, Indonesia pasti memahami bahwa kehidupan Muslim di wilayah Kashmir terancam.
“Langkah pertama yang diminta Pakistan kepada Indonesia adalah setidaknya berbicara dengan India untuk menghentikan kekejaman terhadap Muslim Kashmir dan populasi Muslim lainnya di India yang juga berada di bawah ancaman,” katanya kepada awak media di Kedubes Pakistan di Jakarta saat ditanya peran apa yang bisa dimainkan Indonesia terkait isu kekerasan yang dihadapi Muslim di Kashmir, Jumat (4/8/2023).
Hassan diwawancara setelah membuka acara peringatan “Youm-e-Istehsal (Hari Eksploitasi Kashmir)”. Hassan berpendapat, peran Indonesia di PBB dan dunia internasional terbilang cukup besar. “Sehingga (Indonesia) dapat memainkan perannya di PBB untuk menghentikan kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Kashmir,” ujarnya.
Karena sama-sama memiliki hubungan baik, Hassan menilai, Indonesia juga bisa berperan dalam memediasi Pakistan dan India agar menyelesaikan isu Kashmir secara damai sesuai resolusi PBB. “Karena Anda tahu resolusi (terkait Kashmir) ini sudah berumur 70 tahun. Dan baik India maupun Pakistan setuju untuk menerima resolusi tersebut, membiarkan rakyat Kashmir untuk memutuskan sendiri, apakah mereka ingin bergabung dengan Pakistan atau bergabung dengan India,” ucapnya.
Hassan mengatakan, dia tidak melihat ada masalah dalam pemberian hak penentuan nasib bagi penduduk Kashmir. “Kecuali India tahu betul bahwa rakyat Kashmir tidak akan bergabung bersama India. Namun untuk Pakistan, jika rakyat Kashmir memutuskan untuk tidak bersama Pakistan, tetapi bergabung dengan India, kami sangat siap untuk menerimanya. Karena ini adalah keputusan yang diambil di PBB, pada tahun 1948, kami menerima, orang India menerima,” ujarnya.
Terkait acara peringatan Youm-e-Istehsal, Hassan mengatakan, acara tersebut merupakan bentuk solidaritas Pakistan terhadap penduduk Kashmir. Menurut Hassan mengungkapkan, Kashmir merupakan zona termiliterisasi paling padat. Dia mengungkapkan India mengerahkan sekitar 1 juta tentara ke wilayah tersebut dan melakukan pelanggaran HAM terhadap penduduk di sana.
Hassan pun menyoroti keputusan India mencabut status khusus Kashmir pada Agustus 2019. “Sejak 5 Agustus 2019, Kashmir telah diubah menjadi penjara dan sel penyiksaan terbesar di dunia,” ucapnya.
Menurut Hassan, pencabutan status khusus Kashmir oleh India merupakan perampokan paling terbesar dan mengerikan. Dia menilai, pencabutan status khusus itu juga serangan terhadap identitas, budaya, dan hak-hak dasar warga Kashmir. Hassan mengatakan, dibutuhkan tekanan dari komunitas internasional agar India menghentikan kekejamannya terhadap penduduk Kashmir. "Tekanan internasional adalah hal terpenting. Tekanan politik, tekanan moral," ujarnya.
Kashmir yang dikelola India sempat dibekap ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi memutuskan mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus 2019. Kashmir adalah satu-satunya wilayah di India berpenduduk mayoritas Muslim. Pencabutan status khusus itu segera ditolak warga Kashmir. Mereka khawatir langkah demikian akan mengubah komposisi demografis di sana.
Warga akhirnya turun ke jalan dan menggelar demonstrasi. Unjuk rasa berlangsung di beberapa daerah di wilayah Kashmir yang dikelola India. Pemerintah merespons aksi massa tersebut dengan mengerahkan pasukan ke sana. Tak hanya itu, jaringan televisi dan telekomunikasi, termasuk internet, dipadamkan. Kashmir diisolasi dari dunia luar.
Pakistan, sebagai negara tetangga dengan mayoritas penduduk Muslim, turut memprotes keputusan India mencabut status khusus Kashmir. Kala itu Islamabad memutuskan membekukan semua aktivitas perdagangan dan menurunkan level hubungan diplomatiknya dengan New Delhi.
Setelah status khususnya dicabut, pada 2020, India menerbitkan undang-undang (UU) domisili. Lewat UU tersebut, setiap warga negara India yang telah tinggal di Kashmir selama setidaknya 15 tahun atau menempuh pendidikan selama tujuh tahun, dapat menjadi penduduk tetap di sana.
Pada 2020, Pemerintah India juga melonggarkan aturan bagi tentaranya untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun permukiman “strategis”. Otoritas India menyebut hak tinggal baru sebagai tindakan yang terlambat untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih besar. Namun para kritikus berpendapat langkah itu dapat mengubah susunan populasi di Kashmir.
Banyak warga Kashmir khawatir masuknya “orang luar” dapat mengubah hasil plebisit jika peristiwa itu terjadi. Meskipun resolusi PBB tahun 1948 menjanjikan Kashmir dapat menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan India atau Pakistan.
Sebagian besar Muslim Pakistan mendukung gagasan untuk menyatukan wilayah tersebut dengan Pakistan. Jika tidak, mereka lebih memilih menjadi negara merdeka dibandingkan harus bergabung dengan India. Pemerintah India telah menuduh Pakistan mensponsori “terorisme” di Kashmir. Islamabad membantah tudingan tersebut.
Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan oleh Line of Control (LOC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.