REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan pentingnya sekolah dalam menerima siswa agar tidak hanya melihat syarat fisik dan materi saja, tetapi juga perlu mengetahui riwayat pengasuhan anak untuk mencegah terjadinya perundungan. Hal ini menanggapi terjadinya kasus kekerasan anak di SMA di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang diduga berawal dari perundungan.
"Masih banyak soal tertinggal, seperti bagaimana kesiapan dan kondisi kejiwaan anak, riwayat anak dalam keluarga, situasi pengasuhan anak, riwayat di sekolah sebelumnya, tes psikiatri anak," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra saat dihubungi di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Jasra Putra mengatakan masih banyak korban perundungan yang menyimpan emosi dari tindak perundungan yang dialaminya. "Hal ini terbukti dengan siswa SMA yang melancarkan aksi penusukan dengan niat membalas dari bullying yang dideritanya sekian lama. Yang menjadi ledakan sikap emosi menyikapi bullying yang dialaminya," kata dia.
Ia mengatakan hal itu terjadi karena tidak ada yang peduli terhadap tindak perundungan yang terjadi pada pelaku sehingga ia memutuskan untuk melakukan aksi nekat tersebut.
Jasra Putra menambahkan bahwa korban bullying akan berhadapan dengan gangguan perilaku, agresivitas, pengaruh terhadap gangguan kejiwaan, baik ringan maupun berat, terutama dalam penyaluran emosi. Hal ini kalau tidak tertangani dengan baik akan menjadi perilaku problematik di kemudian hari.
Untuk itu, KPAI meminta sekolah membangun kesadaran dan mendorong keterbukaan bagi siswa untuk melapor jika menjadi korban perundungan.
"Sekolah harus membangun awareness, kepedulian dalam membangun pengertian bullying, ragam bullying, dan membuka secara terbuka cara melapor, menghilangkan stigma bagi anak-anak yang membutuhkan akses layanan konseling," kata Jasra Putra.
Data Layanan Pokja Pengaduan KPAI pada Januari sampai Juni 2023 pada kasus perlindungan anak di ranah pendidikan mencatat ada 97 pengaduan, yang didominasi korban perundungan di satuan pendidikan.