REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi Muslim, memperhatikan adanya sertifikat halal pada produk yang akan dibeli penting. Namun, biasanya, sertifikat halal dimiliki oleh para pelaku usaha besar. Sedangkan mereka yang masih masuk dalam kategori Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), banyak yang belum memiliki sertifikat halal.
Pegiat gaya hidup halal Dian Widayanti menilai sebenarnya jika dilihat dari sisi konsumen, sebenarnya boleh-boleh saja untuk tetap membeli produk UMKM yang tidak memiliki sertifikat halal. Asalkan konsumen tahu titik kritis setiap makanan yang dibeli.
“Biasanya yang aku sarankan ketika mau menikmati makanan dari UMKM, paling tidak tanyakan sesuai dengan titik kritisnya. Misalnya jualan kue tanya apakah pakai vanilla essence alcohol. Apakah mereka menggunakan bahan-bahan yang ada sertifikat halalnya?” ujarnya kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Lantas, perlukah UMKM juga mempunyai sertifikat halal? Dian Widayanti mengatakan sebenarnya para UMKM sangat disarankan untuk memiliki sertifikat halal. Sebab, mereka bisa mendapat fasilitas gratis untuk sertifikat halal. ''Sayangnya banyak UMKM yang belum tahu ada fasilitas ini. Sebaiknya punya karena bisa upscale (meningkatkan kualitas) bisnis. Nantinya, ini akan membuat mereka semakin dipercaya oleh konsumen,” kata Dian.
Sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) membuka program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Kepala BPJPH M Aqil Irham mengatakan Sehati 2023 dibukan sepanjang tahun. Mulai 2 Januari 2023, pelaku usaha sudah bisa mendaftar. “Kami membuka satu juta kuota sertifikasi halal gratis dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha (self declare). Berdasarkan ketentuan, setelah tanggal 17 Oktober 2024, bagi pelaku usaha makanan dan minuman, hasil sembelihan, serta jasa penyembelihan, harus bersertifikat halal. Jika belum, maka akan terkena sanksi," kata Aqil, dilansir situs Kementerian Agama.
Adapun syarat-syarat pendaftaran Sehati 2023 mengacu kepada Keputusan Kepala BPJPH (Kepkaban) Nomor 150 tahun 2022, sebagai berikut:
1. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya;
2. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana;
3. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);
4. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp500 juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri;
5. Memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat dan alat proses produk tidak halal;
6. Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait;
7. Produk yang dihasilkan berupa barang sebagaimana rincian jenis produk dalam lampiran keputusan ini;
8. Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya;
9. Tidak menggunakan bahan berbahaya;
10. Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal;
11. Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikat halal;
12. Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik);
13. Proses pengawetan produk sederhana dan tidak menggunakan kombinasi lebih dari satu metode pengawetan;
14. Bersedia melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan mandiri secara daring melalui SIHALAL.