REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menurut ulama kalangan Madzhab Sayfii, wakaf bermakna menahan harta yang dapat dimanfaatkan, namun barangnya masih tetap dengan cara memutus kepemilikan sang pemilik. Dan peruntukkannya dalam kebaikan taqarrub kepada Allah.
Abdul Fattah As-Samman dalam buku Harta Nabi menjelaskan jenis-jenis wakaf dan juga hikmah disyariatkannya wakaf dalam Islam. Wakaf sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah, bahkan Nabi dan para sahabat telah mencontohkan wakaf.
Para ulama terdahulu tidak membedakan antara wakaf kepada keluarga dengan wakaf kepada selain mereka dari segi penamaan. Mereka menyebut semuanya dengan nama wakaf, Habs, dan sedekah.
Akan tetapi para ulama kontemporer (mutakhirin) cenderung membedakan antara wakaf kepada keluarga dengan wakaf untuk kemaslahatan umum. Seprti kepada kaum kafir, para pencari ilmu, rumah sakit, dan lembaga pendidikan.
Sehingga menurut mereka, wakaf ada dua macam:
Wakaf ahli (dzurri). Yakni wakaf untuk anak, cucu, dan kerabat, sebagaimana wakaf Abu Thalhah yang pernah disebutkan dalam sejumlah literatur Islam.
2. Wakaf Khairi. Yakni wakaf untuk bermacam-macam kebaikan secara umum. Seperti wakaf tanah untuk bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya (atau dalam bahasa terkini disebut sebagai wakaf produktif).
Dinamakan wakaf khairi karena ia menarik kebaikan dan memberikan manfaat secara umum. Wakaf jenis kecua inilah yang umum dan yang dilakukan oleh mayoritas sahabat dan dijadikan ajang berlomba-lomba dalam kebaikan untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Hikmah disyariatkannya wakaf
Allah mensyariatkan wakaf karena di dalamnya terkandung unsur taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan terkandung nilai kasih sayang terhadap kerabat dan orang-orang fakir.
Dapat dimungkinan seseorang mewakafkan buah atau biji tanaman untuk kerabat-kerabatnya. Selain itu, wakaf menjaga kemaslahatan kaum Muslimin. Mungkin saja seseorang mewakafkan sumurnya untuk kaum Muslimin agar mereka memanfaatkannya untuk keperluan-keperluan mereka.