REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong menegaskan Hak Penerbit (Publisher Rights) bertujuan mendukung jurnalisme berkualitas. Ia mengaku rencana pemerintah untuk memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Hak Penerbit itu.
Menurut dia, peraturan itu akan mewajibkan platform digital, seperti Google dan Facebook, memastikan konten berita yang mereka distribusikan harus mendukung jurnalisme yang berkualitas, demokratisasi, serta prinsip keberagaman.
"Jadi, melalui Perpres Publisher Rights ini, kami ingin menciptakan ekosistem bisnis media serta membantu bisnis media dalam mempromosikan jurnalisme berkualitas,” ujar Usman dalam diskusi di Jakarta, Selasa, (8/8/2023).
Menurut ia, pemerintah merasa perlu untuk meluncurkan aturan tersebut karena platform digital telah memonopoli, memonetisasi, dan mengomersialisasi berita serta konten yang mereka distribusikan. Selain itu, Kemenkominfo menilai bahwa berita-berita yang didistribusikan melalui platform digital telah sengaja dipilih berdasarkan algoritma mereka sehingga informasi yang tersedia menjadi tidak beragam.
"Misalnya, di Australia, Facebook hanya mendistribusikan berita-berita dari politikus sayap kanan, mereka memblokir berita yang bernuansa politik sayap kiri. Ini menunjukkan bahwa platform digital tidak hanya berfungsi sebagai distributor, tetapi juga mengontrol akses ke informasi," tutur Usman.
Dari latar belakang itulah, pemerintah kemudian merancang Perpres Publisher Rights yang rencananya segera ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat.
"Dari yang saya baca, upaya untuk mengatur platform digital telah menjadi gerakan di banyak negara, seperti Kanada, AS, Australia. Jadi, ini adalah gerakan (global) yang menurut saya Indonesia harus ikuti," ujar Usman.
Rancangan Perpres Publisher Rights akan mengatur konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan media, untuk selanjutnya disaring oleh perusahaan platform digital. Dengan memberlakukan regulasi itu, diharapkan konten yang bersifat berita bisa dikomersialisasi.
Namun, salah satu platform digital, yakni Google, menyampaikan keberatan terkait rancangan perpres tersebut. Google khawatir regulasi ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik. Google menyatakan bahwa apabila peraturan tersebut disahkan dalam bentuk yang sekarang, hal itu dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk menyediakan sumber informasi daring yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia.
Pasalnya, aturan tersebut dianggap memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul di media daring dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Google menilai peraturan itu hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan mereka untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh Indonesia.
"Termasuk merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet," begitu argumen Google.
Merespons keberatan Google, Usman pun mengakui bahwa Perpres Publisher Rights tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Ia mengatakan pemerintah telah berupaya untuk mencari titik temu dengan berbagai pihak, termasuk dengan platform digital terkait regulasi tersebut.
Salah satunya ketika platform digital sempat mempersoalkan salah satu pasal dalam rancangan Perpres mengenai Hak Penerbit. Pihak platform, kata dia, awalnya menolak salah satu pasal dalam rancangan Perpres yang mengharuskan mereka menyeleksi berita sesuai dengan kode etik jurnalistik maupun Undang-Undang Pers.
Platform digital di antaranya menyatakan bahwa mereka belum memiliki algoritma untuk melakukan seleksi semacam itu dan menganggap kewenangan tersebut bukan bagian dari tugas mereka sebagai platform.
Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati satu pasal dalam rancangan Perpres yang menyatakan platform tidak boleh menyalurkan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik melalui mekanisme pelaporan. Adapun pelaporan tersebut dapat dilakukan oleh Dewan Pers, perusahaan pers, maupun masyarakat.
Sehingga, kata Usman, jika ada berita yang dilaporkan tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, platform digital harus menghapusnya dari daftar mereka. "Itu lah salah satu cara mencari titik tengah, mencari titik temu, karena itu sebetulnya dalam proses mencari titik temu ini sangat tergantung pada para pihak maukah saling memahami satu sama lain, maukah kita tidak memaksakan gagasan kita harus diterima termasuk juga platform (digital)," ujar Usman.