Rabu 09 Aug 2023 07:55 WIB

Apa yang Salah dengan Ujaran Rocky Gerung?

Ujaran Rocky wajib diuji kebenarannya apakah berbanding lurus dengan fakta/kejadian.

Rangga Asmara, dosen Universitas Tidar Magelang
Foto: dokpri
Rangga Asmara, dosen Universitas Tidar Magelang

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rangga Asmara

Dosen Linguistik Universitas Tidar Magelang

Pengamat politik Rocky Gerung menjadi trending di jagat dunia Twitter (X) baru-baru ini. Gara-gara ujaran dalam pidatonya yang menjadi polemik karena disebut menghina Presiden Joko Widodo dengan ujaran ‘bajingan tolol, bajingan pengecut’. Konteks ujaran Rocky ialah kritiknya terhadap kebijakan program Ibu Kota Nusantara (IKN) saat dia diundang berpidato di forum buruh Aliansi Aksi Sejuta Buruh pada 29 Juli di Kota Bekasi. 

Penggalan pidato Rocky yang berpolemik berbunyi, “Begitu Jokowi kehilangan kekuasaan dia jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tapi ambisi Jokowi adalah pertahankan legacy. Dia masih ke China nawarin IKN. Masih mondar-mandir dari ke koalisi ke koalisi lain, cari kejelasan nasibnya. Dia pikirin nasibnya sendiri, dia nggak pikirin kita. Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat, tapi bajingan tolol sekaligus pengecut. Bajingan tapi pengecut.” Lalu, apa yang salah dengan ujaran ‘bajingan tolol, bajingan pengecut’? Apakah benar penggunaan ujaran itu potensial berdampak hukum? 

Tidak sedikit yang merasa frasa ‘bajingan tolol, bajingan pengecut’ yang digunakan Rocky dalam mengkritik terlalu kasar. Formal teks yang berpolemik itu termasuk bentuk makian atau umpatan. Ketiganya juga memiliki nilai rasa negatif, sehingga potensial berdampak hukum.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bajingan bermakna penjahat/pencopet, sedangkan kata tolol berarti sangat bodoh/bebal. Adapun pengecut disamakan maknanya penakut/munafik. Secara semantik, pemaknaan ketiga kata itu tidak terikat pada konteks pemakaiannya. KBBI hanya merekam potensi makna kata itu. 

Manakala menjumpai penggunaan bahasa yang potensial berdampak hukum, seperti pada kasus Rocky, pengungkapan makna tidak hanya disisir pada aspek formal teks semata, karena bahasa tidak berlangsung di ruang hampa. Pemaknaan dalam kasus ini seharusnya melibatkan pula studi bidang linguistik yang disebut pragmatik dan wacana (discourse) yang menuntut pertimbangan atas konteks pemakaiannya di dalam tindak komunikasi, mempertimbangkan aspek-aspek seperti: siapa yang berbicara, kepada siapa disampaikan, di mana, kapan, dan pada suatuasi apa. Dengan demikian motif atau ideologi yang sesungguhnya dimaksudkan oleh si penutur dapat diungkap dengan lebih gamblang.

Label ‘bajingan tolol, bajingan pengecut’ disematkan kepada Presiden Joko Widodo yang berkaitan dengan kinerjanya, bukan berkaitan dengan ciri fisik/psikis/kognisinya. Kritik sarkastik Rocky menyerang kebijakan/tindakan Joko Widodo sebagai presiden yang berkaitan dengan kunjungannya ke Tiongkok untuk menacari investor IKN, bukan menyerang pribadi.

Meski begitu, ujaran Rocky wajib diuji kebenarannya apakah label yang ia sematkan berbanding lurus dengan fakta/kejadian. Apakah Presiden benar-benar menerlantarkan warganya (buruh?) dan mau mencari suaka lewat proyek IKN? Banyak tafsir bisa terbentuk dari diskursus ini. Rocky punya salah satunya. Premis hukumnya ialah ketika label berbanding lurus dengan fakta/kejadian tidak ada dampak hukum, jika berbanding terbalik ada resiko hukum, karena akan dianggap mengandung ujaran kebohongan. 

Penggunaan bahasa yang hiperbolis bahkan sarkastik di panggung politik adalah sesuatu yang lumrah dalam rangka memperebutkan pemaknaan terhadap sesuatu yang diperjuangkan. Rocky tampaknya sadar betul soal pilihan katanya. Rocky Gerung sudah berkali-kali melakukan ini, dan selalu pintar berputar-putar di wilayah tafsir.

Klaim Rocky soal tafsir makna ‘bajingan’ sebetulnya sangat mudah dibantah karena permasalahan arti harus sesuai masanya (sinkronis), bukan didasarkan pengertian pada masa lalu (diakronis). Ia sebetulnya sadar bahwa kata bajingan telah mengalami peyorasi seiring perubahan zaman. Para sarjana linguistik sepakat bahwa peyorasi terjadi apabila makna suatu kata dianggap memiliki nilai lebih rendah dari sebelumnya.

Secara historis, bajingan dulu dianggap memiliki peranan yang cukup penting. Mereka adalah orang yang bertugas menarik gerobak atau pedati karena mengangkut bahan makanan di zaman Mataram. Pejuang kemerdekaan juga disembunyikan di gerobak itu oleh para bajingan. Dalam logika Aristotelian, ini adalah kekeliruan genetik (genetic fallacy) yang menganggap makna historis sebuah kata sebagai satu-satunya makna yang valid dan bahwa maknanya saat ini tidak valid.

Delik Aduan

Resiko penerapan tindak pidana kejahatan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) UU Nomor 19 Tahun 2016 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi,''Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” menanti Rocky jika Presiden Joko Widodo melakukan aduan hukum. Pembuktian dampak hukum dalam ujaran Rocky juga mesti dilihat dari respon petutur, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.

Presiden Joko Widodo telah menanggapi ucapan Rocky ini, “Itu hal-hal kecil lah. Saya kerja aja.” Ketika respons Presiden Joko Widodo merasa tidak dirugikan secara materi/nama baiknya, artinya tidak ada korban, maka tidak ada kasus hukum. Dengan kata lain, korban tidak dapat menunjukkan kerugiannya secara material. Dengan demikian, ujaran Rocky Gerung tidak memberi dampak hukum yang signifikan. 

Linguis Norman Fairclough (2003) meyakini bahasa bukan lagi entitas yang netral. Di dalamnya bersemayam ideologi dan kekuasaan. Bahasa seseorang juga menunjukkan isi pikirannya. Bahasa bisa menjadi instrumen yang berbahaya ketika digunakan oleh orang yang salah dan dalam konteks (ruang dan waktu) yang salah.  

Pernyataan Rocky memang patut dikritik. Terlebih karena ia dikenal sebagai seorang akademisi dan filsuf. Pernyataan itu bukan saja menunjukkan kekurangarifan dalam komunikasi, tetapi juga menunjukkan kesengajaannya membangun wajah sosial (social branding) yang lekat dengan tindak tutur mengancam wajah (face-threatening act) ketika berargumentasi di ruang publik. 

Seperti biasa Rocky berargumentasi seolah dia adalah gurunya semua orang. Seolah semua orang yang berseberangan secara logika harus diidentifikasi dengan “dungu”, “tolol”, bahkan mungkin “bajingan”. 

Sebagai seorang yang tahu betul konsep etika, Rocky sebenarnya punya tanggung jawab menimbang pernyataannya agar tidak menyinggung masyarakat. Dalam kapasitas itu, ia juga punya kewajiban menyampaikan informasi dan pemikirannya dengan bahasa yang lebih simpatik. Sebab, selalu ada strategi yang memungkinkan pesan tetap tersampaikan tanpa melahirkan kegaduhan. 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement