Rabu 09 Aug 2023 16:19 WIB

Lokasi Penemuan Kerangka Manusia Dimungkinkan Bekas Perang Sepehi, Ini Sejarahnya

Perang Sepehi merupakan penyerbuan pasukan Inggris terhadap Keraton Yogyakarta.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Proyek revitalisasi Pojok Beteng Wetan atau Timur di Yogyakarta.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Proyek revitalisasi Pojok Beteng Wetan atau Timur di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lokasi yang menjadi titik ditemukannya benda diduga kerangka manusia di proyek revitalisasi Benteng Keraton Yogyakarta, tepatnya di Jalan Suryomentaraman Wetan, RT 55 RW 14, Panembahan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta, dimungkinkan menjadi lokasi bekas Perang Geger Sepoy atau Geger Sepehi.

Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY belum bisa menyebutkan secara pasti bahwa lokasi tersebut adalah bekas Perang Geger Sepehi, namun dimungkinkan bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi bekas perang dahulunya.

 

"Belum ada yang bisa memastikan (lokasi penemuan kerangka manusia merupakan bekas perang), karena memang data masih on progres diteliti. Semua masih kemungkinan dan dugaan, tapi belum tentu benar," kata Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi kepada Republika, Rabu (9/8/2023).

Meski begitu, Republika sudah merangkum sejarah terkait Perang Geger Sepehi yang terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka. Dilansir dari Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Yogyakarta, Perang Geger Sepehi merupakan penyerbuan pasukan Inggris terhadap Keraton Yogyakarta pada 19-20 Juni 1812 lalu.

Peristiwa Geger Sepehi berawal ketika pada 1811 Inggris mulai menancapkan kekuasaannya di Jawa dan berkeinginan menguasai Pulau Jawa yang kala itu dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffless. Langkah awal yang dilakukan Raffles adalah menguasai sepenuhnya Pulau Jawa dan mempertahankannya dari serangan negara lain, khususnya Prancis dan Belanda.

Raffles kemudian mengirim residen-residen ke wilayah-wilayah di Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pulau tersebut. Kedatangan  Inggris untuk menguasai Jawa sepenuhnya mendapat hambatan dari Sultan Hamengkubuwono II yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV.

Raffles kemudian mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Sultan Hamengkubuwono II. Jalan diplomasi menemui titik buntu dan berakhir dengan upaya penaklukan Kesultanan Yogyakarta.

Raffles mempersiapkan pasukan untuk menggempur dan menundukan Kesultanan Yogyakarta. Kesultanan saat itu sedang dilanda konflik keluarga yang memperlemah pertahanan Kesultanan, dan hal ini dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyerang Yogyakarta pada 18-20 Juni 1812 yang sering disebut sebagai perang Geger Sepoy karena kebanyakan pasukan Inggris dari Brigade Sepoy.

Brigade ini adalah tentara yang direkrut dari warga India yang sudah terlebih dahulu dijajah oleh Inggris. Peristiwa Geger Sepoy dimulai dengan perencanaan yang matang.

Pasukan yang dipimpin Inggris terdiri dari pasukan kerajaan Eropa dan pasukan Sepoy sebanyak 1.200 orang, pasukan Surakarta, Legiun Mangkunegaran sebanyak 800 orang, serta dukungan dari Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing.

Artileri Inggris mulai menyulut meriam mereka pada 18 Juni 1812, setelah diplomasi terakhir gagal dan dibalas dengan meriam pasukan Keraton. Selama dua hari, peperangan terjadi di luar Benteng Baluwerti Keraton dan juga saling tembak meriam dan artileri lainnya.

Kemudian, pada 20 Juni dini hari tahun 1812, pasukan Inggris keluar secara diam-diam untuk mendekati regol dan lini belakang pertahanan Keraton. Hal ini menyebabkan pertahanan Keraton Yogyakarta jebol dan pasukan masuk melalui Plengkung Tarunasura, Nirbaya, dan Alun-Alun Utara.

Sultan Hamengkubuwono II pun ditangkap beserta para pangeran yang masih tersisa. Keraton Yogyakarta berhasil diduduki dan terjadi penjarahan besar-besaran terhadap harta-harta dan kekayaan intelektual yang ada di dalamnya.

Serangan tersebut mengubah hampir seluruh tatanan lama Kesultanan Yogyakarta. Pelengseran dan pembuangan Sultan Hamengkubuwono II Ke Penang Malaysia, dan pengangkatan Sultan Baru merupakan bukti yang paling kentara.

Suksesi jumenengan yang biasanya dilakukan sesuai adat istiadat Keraton, berubah yang disesuaikan dengan keinginan kolonial Inggris dengan pelantikan yang dilakukan di Loji Residen dan menyejajarkan pemimpin kolonial Inggris, Raffles, dengan sultan baru.

Perang Geger Sepehi itu berdampak besar terhadap keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta. Inggris melakukan berbagai kebijakan yang menguntungkannya di Keraton setelah berhasil menguasainya dan menangkap Sultan Hamengkubuwono II.

Kebijakan pertama yang dilakukan Inggris adalah mengangkat Adipati Anom Surojo sebagai Sultan Hamengkubuwono III yang dipaksa tunduk kepada pemerintah Gubernurmen Inggris.

Kedua, Inggris mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Pakualaman I. Ketiga, Inggris juga mengangkat Adipati Anom Ibnu Jarot sebagai Sultan Hamengkubuwono IV menggantikan ayahnya yang meninggal pada 1814.

Peristiwa Geger Sepehi juga telah menguras seluruh kekayaan materi maupun keilmuan Keraton. Seluruh naskah sejarah yang ada di Keraton habis diboyong oleh Raffles dan kebanyakan dibawa ke Inggris, yang saat ini disimpan di British Library.

Padahal di dalam naskah tersebut banyak menceritakan sejarah panjang masyarakat Jawa yang kental akan berbagai macam bentuk filosofi. Melalui kontrak politik antara Hamengkubuwono III dengan Residen John Crawfud, Inggris menerima konsesi wilayah Kedu, Jipang, Japan, Grobogan, dan Pacitan.

Akibatnya, bupati-bupati di wilayah tersebut  dipulangkan ke Yogyakarta dan diganti bupati baru yang setia kepada Inggris. Setelah menguasai wilayah Kesultanan Yogyakarta, Inggris menerapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk, serta menghapus penyerahan lain dan kerja wajib.

Di beberapa tempat, Inggris memberi kekuasaan kepada orang Cina untuk mengelola pajak yang justru terjadi penyelewengan yang menyengsarakan rakyat. Dualisme hukum antara Islam dan kolonial juga masih dipelihara oleh Inggris, meskipun terjadi banyak modifikasi khususnya dalam hal penegakan hukum.

Ilmu pengetahuan juga berkembang pada masa kolonial Inggris di Yogyakarta, seperti banyaknya kunjungan ke bangunan-bangunan cagar budaya dan pemeliharaan naskah-naskah kesusastraan Jawa yang dirampas oleh Inggris pasca-Geger Sepehi.

Geger Sepoy tidak hanya sejarah kelam kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di Tanah Mataram. Untuk mengenang peristiwa ini, dibangun Prasasti Geger Sepehi di Kampung Ketelan, Wijilan, Jokteng Lor Wetan, Yogyakarta, guna mengenang perjuangan rakyat Jawa Mataram tempo dulu melawan penjajahan bangsa Barat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement