Rabu 09 Aug 2023 17:50 WIB

Pemerintah Kaji Umbi-umbian Tahan Anomali Cuaca di Papua Tengah, Salah Satunya Dieng

Umbi-umbian menjadi pangan pokok sebagian masyarakat Papua.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Erdy Nasrul
Menko PMK Prof Muhadjir Effendy.
Foto: Dok Republika.co.id
Menko PMK Prof Muhadjir Effendy.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah saat ini bekerjasama dengan perguruan tinggi mengkaji jenis umbi-umbian yang tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Hal ini untuk mengantisipasi bencana kekeringan yang berdampak pada kasus kelaparan di daerah tersebut di masa mendatang.

Kementerian Pertanian dan beberapa perguruan tinggi akan berkolaborasi mencari varietas atau jenis tanaman umbi-umbian. "Terutama yang menjadi makanan pokok di penduduk ini yang tahan terhadap perubahan cuaca yang anomali tadi," ujar Menko PMK Muhadjir Effendy dalam keterangan pers usai Rapat Tingkat Menteri Penanganan Dampak Bencana Kekeringan di Papua Tengah di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Baca Juga

Muhadjir sebelumnya mengatakan, adanya perubahan cuaca ekstrem berupa kabut es membuat umbi-umbian yang merupakan makanan pokok masyarakat Kabupaten Puncak membusuk. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki bahan bahan makanan lain sehingga menyebabkan kelaparan.

"Karena sebagaimana diketahui ini sebetulnya selalu terjadi, pada bulan Mei sampai Juli itu ada hujan es kemudian diikuti dengan embun salju yang itu membikin umbi-umbian di sana busuk," ujarnya.

Karena itu, kajian sementara dari salah satu perguruan tinggi menyebut ad varietas umbi-umbian yang cocok dengan cuaca anomali tersebut, yakni dari Dieng, Jawa Tengah.

"Kemarin saya sudah dapat laporan dari salah satu perguruan tinggi ada jenis tanaman yang sekarang di tanam di umbi-umbian di Bukit Dieng itu kemungkinan bisa diadaptasikan untuk ditanam di tempat ini ya, itu untuk jangka panjang," ujarnya.

Sebelumnya, Muhadjir juga mengatakan enam warga meninggal karena diare di Kabupaten Puncak juga salah satunya karena minimnya bahan makanan di wilayah tersebut. Hal ini membuat masyarakat yang tidak memiliki bahan makanan terpaksa memakan umbi-umbian tersebut.

"Nah umbi busuk semua. Nah itu kalau dimakan itu terus jadi diàre itu. Sampai meninggal. Makanya bener meninggalnya diare.  Tetapi kan nggak ada visum dokter meninggal kelaparan nggak ada. Ya diare itu karena kelaparan," ujarnya.

"Saya agak marah kemarin di sana, diplintir, masa ada ini bukan karena kelaparan tapi diare, iya diarenya karena laper. Kan nggak ada dokter diagnosis mati karena kelaparan. Sebabnya diare karena bakteri mematikan itu," tambah Muhadjir.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement