REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan citra tubuh tak hanya bisa mengimbas anak perempuan. Faktanya, anak laki-laki juga bisa mengalami krisis soal citra tubuh. Baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa terpapar informasi atau idealisasi citra tubuh yang tak relevan dan tak realistis.
Sebagai contoh, anak perempuan bisa memiliki pandangan yang salah bahwa tubuh ideal berarti badan yang langsing atau semampai bak model. Sementara, anak laki-laki berpotensi punya pemikiran salah kaprah bahwa tubuh lelaki yang baik adalah yang berotot seperti pahlawan super.
Padahal, setiap orang bisa memiliki proporsi tubuh berbeda yang mungkin dipengaruhi genetika dan berbagai hal lainnya. Bagaimana cara mengatasi apabila anak lelaki terlanjur terobsesi untuk punya tubuh seperti pahlawan super dan berlebihan menyikapinya?
Profesor psikologi Charlotte Markey mengatakan, masalah citra tubuh memang bisa dialami anak laki-laki. Dia mengutip sebuah studi tentang citra tubuh pada 101 anak laki-laki berusia enam tahun. Diketahui bahwa sepertiga dari mereka ingin menjadi lebih berotot daripada tubuh mereka saat ini.
Sebagian mengalami ketidakpuasan tubuh yang berorientasi pada sedikitnya otot dan tubuh yang kurus. Mereka mengaku akan lebih senang jika tubuhnya besar dari kekar. Selain itu, tidak sedikit anak laki-laki usia sekolah yang mengaku tidak nyaman membuka pakaian saat berada di kolam renang.
"Berbicara tentang tubuh dapat membuat anak laki-laki merasa tidak aman dan rentan," ujar penulis buku Being You: The Body Image Book for Boys itu, dikutip dari laman Romper, Kamis (10/8/2023).
Menurut Markey, orang tua perlu mendiskusikan hal itu dengan anak sedini dan sesering mungkin, namun dengan cara sederhana. Misalnya, menekankan pada anak bahwa memiliki tubuh berotot bukan segalanya dan bukan satu-satunya patokan ideal.
Ketika menonton tayangan pahlawan super di bioskop atau televisi, ayah dan ibu bisa membahasnya dengan anak laki-lakinya. Semisal, dengan mengagumi tokoh pahlawan yang terlihat sangat kuat, tapi menekankan bahwa kebanyakan pria di dunia nyata tidak terlihat seperti itu. "Sangat penting untuk memberikan pemeriksaan realitas sejak usia dini," ucap Markey.
Psikiater anak, remaja, dan dewasa bersertifikat, Erikka Dzirasa, kerap membantu anak-anak berusia enam tahun yang punya masalah citra tubuh. Bagi Dzirasa, kekhawatiran tentang citra tubuh pada usia yang sangat muda bukan hal yang mustahil. Dia mengaitkan itu dengan kemungkinan terjadinya gangguan makan.
Keinginan anak memiliki bentuk tubuh tertentu dapat mengarah pada kebiasaan makan anak, meski tidak selalu demikian. Sebagai contoh, Dzirasa pernah menangani anak yang membatasi jenis makanan tertentu atau menyembunyikan makanan di kamar karena dianggap bisa membuat gemuk.
Ada juga anak yang secara rutin melewatkan makan siang, atau langsung memuntahkannya setiap selesai makan. Perilaku gangguan makan juga dapat terjadi pada anak-anak jelang pubertas, sebab ada kecemasan dirinya akan berkembang dan memiliki tubuh baru.
"Ada komponen ras, budaya, dan keluarga untuk gangguan makan. Gender dan seksualitas juga bisa berperan. Anak-anak bisa sangat konkret dalam pemikiran mereka. Untuk seorang anak yang cenderung perfeksionis, hal ini dapat menyebabkan pembatasan kalori berlebih," kata Dzirasa.
Konselor makan intuitif bersertifikat dan pekerja sosial klinis Lily Thrope, mengatakan anak laki-laki tidak diidentifikasi sesering anak perempuan dalam hal gangguan makan dan masalah citra tubuh. Itu karena dari luar, mereka bisa terlihat sangat sehat.
Padahal, di balik itu, bisa jadi ada anak laki-laki yang terlalu fokus pada bagaimana tubuhnya terlihat, dan berusaha mencapai citra tubuh seperti sosok kuat idolanya. Di sinilah Thrope menganggap kedekatan orang tua dengan anak sangat penting supaya anak perlu terbuka.
Menurut Thrope, orang tua perlu memberi pengertian tentang pentingnya menjaga kesehatan di atas segalanya. "Menjadi kuat itu hebat. Begitu juga dengan menjaga diri sendiri, namun tidak dengan cara mengabaikan genetika dan isyarat tubuh mereka sendiri," ujarnya.