REPUBLIKA.CO.ID, MAZAR-I-SHARIF -- Bertempat tinggal di Afghanistan utara, Khushi yang berusia 19 tahun menggambar potret diri bergambar sosok yang diselimuti burqa biru di dalam sangkar. Goresan itu seakan menunjukan kondisi yang dialaminya sekarang.
Mantan mahasiswa itu pernah mengikuti kelas hukum dan ilmu politik di universitas utama provinsi Balkh utara. Namun Khusni tenggelam dalam depresi sejak Taliban menutup perguruan tinggi bagi para perempuan pada Desember 2021.
Sejak itu, Khusni pun membutuhkan perawatan psikiatri. Dia direkomendasikan kelas terapi seni. "Ketika saya menyadari bahwa saya tidak sehat secara mental, saya menjadi sedih... Saya tidak bahagia sama sekali, saya selalu tertekan, saya merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar, yang telah kehilangan semua kebahagiaannya," kata Khushi yang hanya diidentifikasi dengan satu nama saja untuk alasan keamanan.
"Setelah Taliban melarang anak perempuan dari universitas dan mengumumkan bahwa anak perempuan tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan kami, saya merasa sangat kesal, hari demi hari kesehatan mental saya memburuk, saya ... akhirnya memutuskan untuk menemui psikiater agar menjadi lebih baik," ujarnya.
Khushi tidak sendiri, dia berkumpul dengan perempuan lainnya yang membutuhkan pertolongan. Banyak dari mereka telah dikirim ke sini atas rekomendasi ahli kesehatan mental untuk memudahkan isolasi dan mempelajari keterampilan baru, bersamaan dengan terapi bicara dan pengobatan.
“Ketika saya merasa tertekan, dokter meresepkan saya untuk pergi ke tempat di mana saya bisa menenangkan pikiran. Saya memilih sanggar seni. Tidak hanya berteman baik di sini, saya juga menerima terapi seni,” kata mantan mahasiswa itu..
Khushi mengatakan terapi seni memberinya kelonggaran dari rumah dan sedikit harapan untuk masa depan. "Itu memberi saya rasa pencapaian karena telah membuat sesuatu, secara keseluruhan, menggambar memberi saya kepercayaan diri," katanya.
"Saya kecewa dengan hidup saya, tapi saya tidak akan menyerah, saya akan berjuang. Saya harap semuanya akan menjadi lebih baik di masa depan," ujar Khusni.
Penutupan universitas oleh Taliban itu memicu protes publik yang jarang terjadi. Keputusan tersebut diambil setelah penutupan sebagian besar sekolah menengah perempuan dan diikuti oleh otoritas Taliban yang memerintahkan sebagian besar pekerja kemanusiaan perempuan untuk tidak bekerja. Taliban mengklaim menghormati hak-hak perempuan sejalan dengan interpretasi sendiri terhadap hukum Islam dan budaya Afghanistan.
Perintah yang membatasi perempuan dari kehidupan publik juga telah mengundang kecaman keras internasional. Pemerintah Barat mengatakan, tindakan itu adalah rintangan utama untuk bergerak ke arah pengakuan resmi pemerintah Taliban yang mengambil alih ketika pasukan asing pergi dua tahun lalu.
Banyak perempuan, terutama di daerah perkotaan, yang memperoleh kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan selama 20 tahun kehadiran pasukan asing dan pemerintah yang didukung Barat. Mereka sekarang berjuang dengan rasa putus asa yang mendalam dan tantangan kesehatan mental.
Taliban tak menyisakan apapun untuk perempuan....