Jumat 11 Aug 2023 19:09 WIB

Fairatmos dan BCG Dorong Keseimbangan Lingkungan di Tengah Sibuknya Dunia Industri

Keuntungan bisnis, manusia, serta lingkungan, harus dapat hidup berdampingan.

Hutan yang asri menjadi tanda bersihnya lingkungan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Hutan yang asri menjadi tanda bersihnya lingkungan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fairatmos berkolaborasi dengan Boston Consulting Group (BCG) merilis laporan terobosan berjudul "Climate Technology: Southeast Asia's Role in Combating Climate Change." Laporan ini mengungkapkan peluang signifikan yang ditawarkan oleh solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NbS) di wilayah tersebut, dengan proyeksi potensi pasokan offset karbon sekitar 30% secara global pada tahun 2030, meskipun luas wilayah Asia Tenggara mencakup kurang dari 1% dari total luas daratan dunia.

Didirikan pada tahun 2022, Fairatmos berdedikasi untuk menciptakan dunia di mana keuntungan bisnis, manusia, serta lingkungan, dapat hidup berdampingan. "Fairatmos bangga bekerja sama dengan BCG untuk menghadirkan laporan transformatif ini. Potensi Asia Tenggara sungguh melimpah dalam menghadapi perubahan iklim melalui solusi berbasis alam. "Sebagai perusahaan teknologi iklim pionir di Asia Tenggara, kami tergerak oleh visi bersama dalam membangun masa depan yang berkelanjutan dan berkomitmen untuk menjadi pelopor dalam solusi-solusi yang memberikan manfaat lingkungan dan sosial yang nyata,” ujar CEO Fairatmos Natalia Rialucky, seperti dinukil pada Jumat (11/8/2023).

Baca Juga

 

Laporan iyang diluncurkan pada Indonesia Future of Climate Summit 2023, juga mengungkapkan wawasan kritis tentang potensi yang belum dimanfaatkan dari Asia Tenggara dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui adopsi solusi berbasis alam. Solusi-solusi ini mencakup beragam inisiatif, termasuk reboisasi, penanaman hutan, restorasi lahan basah, dan pertanian berkelanjutan, yang semuanya berkontribusi pada penyimpanan karbon dan konservasi biodiversitas.

 

Meskipun potensi besar Asia Tenggara, laporan ini menyoroti berbagai tantangan di seluruh rantai nilai yang menghambat adopsi luas proyek NbS. Masalah terkait transparansi proyek, visibilitas permintaan, dan jaminan kualitas diidentifikasi sebagai hambatan yang harus diatasi secara kolaboratif untuk membuka potensi penuh wilayah ini dalam menghadapi perubahan iklim.

 “Mengatasi perubahan iklim adalah usaha yang signifikan, yang keberhasilannya akan tidak mungkin dicapai tanpa kolaborasi. Agar kemajuan dapat dicapai dalam mempercepat penerapan solusi berbasis alam dan teknologi iklim, yang kita perlukan dengan mendesak sekarang adalah tindakan kolektif dari para penyedia teknologi, pemimpin industri, pihak keuangan, pemerintah, dan regulator. Dengan masa depan lingkungan kita ada dalam bahaya, setiap penundaan dalam melakukannya bisa berarti konsekuensi yang tidak dapat diubah bagi komunitas kita dan generasi mendatang," kata Managing Director dan Senior Partner BCG Yulius Yulius

Indonesia Future of Climate Summit 2023, acara bertema teknologi iklim pertama yang ramah karbon di Indonesia, diselenggarakan oleh Fairatmos, Yayasan Paloma Sjahrir, dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), di Hotel Dharmawangsa Jakarta. Kegiatan tersebut menghadirkan pemimpin, inovator, pembuat kebijakan, ahli industri, dan pemangku kepentingan dari berbagai sektor di Asia Tenggara untuk mengeksplorasi strategi inovatif dalam mengatasi tantangan ini dan mempercepat adopsi solusi berbasis alam.

 

sumber : Bcg.com
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement