REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam negara demokrasi, aspirasi dan kritik adalah unsur yang harus tumbuh dalam menyuburkan pemerintahan yang demokratis. Kritik merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia masih sudah membedakan antara kritik dan ujaran kebencian, terutama di media sosial.
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat, mengungkapkan fenomena maraknya pendapat, kritik, atau ujaran kebencian di media sosial. Menurut dia, media sosial menjadi salah satu alternatif untuk menyuarakan pendapat pada saat media mainstream tidak memberikan tempat kepada khalayak, terlebih jarang menampilkan gagasan, kritik dari anak muda.
Namun yang menjadi persoalan, menurut Deden, masih kurangnya literasi digital menyebabkan masyarakat tidak bijak dalam menyampaikan pendapat atau gagasannya. Sehingga dengan mudah berpendapat atau memviralkan opini negatif, yang menimbulkan kerentanan polemik antar-anak bangsa.
"Kekurangan pemahaman tentang literasi digital inilah yang kemudian masih maraknya hate speech dan hoaks. Kita, misalnya bertanggung jawab untuk mengingatkan lingkungan di sekitar kita untuk mengurangi hate speech dan hoaks," ujar Deden di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Ia mengungkapkan literasi digital dapat diartikan sebagai kecakapan menggunakan media digital untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan etika dan tanggung jawab. Dengan memiliki kecakapan ini, masyarakat akan berpikir bijak untuk mengakses, mengolah maupun menyebarkan informasi di media sosialnya.
Oleh karena itu, Deden mendorong semua pihak untuk mengampanyekan pentingnya literasi digital untuk membangun iklim demokrasi yang positif untuk menyambut tahun politik.
"Program kampanye literasi digital bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap iklim demokrasi yang sehat, terutama oleh instansi pemerintah, lembaga pendidikan, bahkan organisasi kemasyarakatan," ungkap Deden.
Deden mengatakan meskipun negara menjadi kebebasan berpendapat yang terdapat dalam UUD Pasal 28 dan UU Pers No 40 tahun 1999, kita harus mampu memilih dan memilah kata maupun kalimat yang akan disampaikan ke ranah publik. Banyak masyarakat yang belum dapat membedakan antara kritik, nyinyir, hujatan, dan ujaran kebencian yang rentan memecah belah masyarakat. Karena sejatinya, tidak ada kebebasan dalam menyebarkan kebencian, hasutan, fitnah atas nama demokrasi.
"Kedewasaan kita dalam berdemokrasi di ruang digital memang sangat diperlukan, apalagi di tahun tahun politik yang biasa terkesan sensitif," ujar Deden, alumnus Universitas Ankara, Turki.
Tidak hanya itu, Deden menambahkan, perlu juga adanya kesadaran bagi para politikus dan kontestan pemilu untuk membangun Indonesia yang lebih baik dengan memaparkan visi misi yang orisinal, strategi yang baik, dan kampanye yang elegan guna menghasilkan pemimpin eksekutif dan legislatif yang berkualitas.
"Setiap kontestan di pemilu 2024 ini harus membangun political will yang baik yang membuat pesta demokrasi berjalan dengan lancar dan sukses tanpa adanya perpecahan di masyarakat," kata Deden.