Ahad 13 Aug 2023 09:13 WIB

UMJ Mengukuhkan Prof Ibnu Sina Chandranegara sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara

Dalam pidatonya, Ibnu Sina memiliki catatan kritis terkait kekuasaan.

Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengukuhkan Prof Ibnu Sina Chandranegara sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara.
Foto: Dok. UMJ
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengukuhkan Prof Ibnu Sina Chandranegara sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengukuhkan Prof Ibnu Sina Chandranegara sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, beberapa waktu lalu. Dalam pidatonya yang berjudul 'Tiga Abad Doktrin Pemisahan Kekuasaan: di antara Memisahkan Kekuasaan dan Memisahkan Kekuasaan yang Sesungguhnya', ia menjabarkan teori tentang kekuasaan dalam negara kerap merujuk pada pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, yaitu kekuasaan pembentuk hukum (legislative), kekuasaan pelaksana hukum (executive), dan kekuasaan kehakiman (judiciary). Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Setidaknya ada pembagian yang lebih relevan, yaitu kekuasaan yang bersumber dari negara dan kekuasaan yang sesungguhnya.

“Doktrin pemisahan kekuasaan yang telah berusia tiga abad, nyatanya masih terus mengalami pencarian bentuk yang terbaik sesuai masanya,” kata Prof Ibnu Sina Chandranegara dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Ibnu Sina merujuk pendapat Howard Zinn soal istilah kekuasaan yang sesungguhnya yang bersanding dengan teori tiga cabang kekuasaan negara ala Montesquieu. Kekuasaan yang sesungguhnya (true source power in society) terletak dalam beberapa dimensi yang kompleks. 

Ibnu Sina menyebut adanya dimensi kekuasaan yang bersumber mulai dari aktivitas ekonomi (economic power), kekuasaan yang  bersumber dari interaksi sosial non negara (social power), kekuasaan yang bersumber dari asosiasi-asosiasi ilmuwan dan/atau cendekiawan (knowledge or intellectual power), kekuasaan yang bersumber dari kultur (cultural power), kekuasaan yang bersumber dari penguasaan teknologi (technological power), kekuasaan yang bersumber dari penguasaan media (media power), kekuasaan yang bersumber dari otoritas keagamaan (spiritual power), kekuasaan yang bersumber dari kekuatan militer (military power), hingga kekuasaan yang bersumber dari dominasi dalam hubungan internasional (international relationship dominance power).

“Di dalam kekuasaan yang sesungguhnya, peran etika jauh lebih memiliki makna,” katanya.

Hal itu karena kekuasaan jenis ini cukup mampu membatasi dirinya sendiri secara internal. Ada semacam oleh sistem kekuasaan yang ada di dalamnya (automatic limitation) yang bisa diandalkan.

Di sisi lain, kekuasaan yang bersumber dari negara cenderung akan menggunakan hukum positif untuk membatasinya. Ada kecenderungan gagal untuk membatasi dirinya sendiri secara internal. Oleh karena itu, kita menyaksikan pelaksanaan tiga cabang kekuasaan yang bersumber dari negara diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Catatan kritis Ibnu Sina adalah kekuasaan yang sesungguhnya telah lama luput dari kajian serius hukum tata negara. Bisa dikatakan kajian tentang true source power in society justru lebih akrab di kalangan sarjana politik. 

“Berbagai sarjana seperti John Locke, Montesquieu, C Van Vollenhoven, dan Frank J Goodnow cenderung memilih untuk memfokuskan pada kekuasaan yang bersumber dari negara,” ujarnya. 

Hal itu bisa dimengerti karena perdebatan ide tentang organisasi negara saat itu utamanya dipengaruhi kekuasaan negara yang serupa dengan kekuasaan Tuhan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement