REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memberikan denda sebesar Rp 56 miliar bagi sejumlah eksportir yang melanggar aturan devisa hasil ekspor. Adapun sanksi tersebut merupakan akumulasi dari 2019 sampai dengan 2023 yang menggunakan aturan lama.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan sanksi ini mengacu pada aturan devisa hasil ekspor lama, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
"Sejak 2019-2023 pemerintah telah mengenakan sanksi sebanyak Rp 56 miliar terhadap perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DHE dengan menggunakan sistem PP yang lama," ujarnya kepada wartawan dikutip Ahad (13/8/2023).
Askolani menyebut belum ada eksportir yang melanggar kebijakan devisa hasil ekspor baru dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023. Hal ini mengingat kebijakan tersebut baru berlaku Agustus 2023.
Selain itu, ada tenggat waktu tiga bulan untuk menempatkan devisa hasil ekspor sumber daya alam dalam rekening khusus. Dalam beleid tersebut, para eksportir diharuskan menyimpan devisa hasil ekspor sebesar 30 persen selama tiga bulan.
"Nanti kepatuhan dari perusahaan itu akan kita lihat setelah 3 bulan jalan, setelah Agustus. Jadi kami tegaskan saat ini belum ada perusahaan yang kemudian kita lakukan pengawasan sesuai dengan PP 2023," ucapnya.
“Maka kewajiban DHE adalah tiga bulan, sehingga kepatuhan perusahaan itu akan kita lihat tiga bulan setelah Agustus," tambahnya.
Dalam beleid baru Presiden Joko Widodo, pengusaha diwajibkan menyimpan devisa hasil ekspor bila mereka punya nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor minimal 250 ribu dolar AS. Jika di bawah nilai tersebut, eksportir tak diwajibkan memarkir devisa hasil ekspor melalui perbankan.
Bagi pengusaha dengan nilai ekspor di bawah 250 ribu dolar AS bisa tetap sukarela menempatkan devisa hasil ekspor melalui perbankan atau lembaga keuangan pemerintah lain.