Senin 14 Aug 2023 13:57 WIB

Bawaslu Sebut 5 Provinsi Paling Rawan Politik Uang, Ini Daftarnya

Perlu dibuat proyeksi maupun deteksi dini dalam upaya untuk pencegahan.

Rep: Febryan A / Red: Yusuf Assidiq
Spanduk berisikan seruan Stop Politik Uang.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Spanduk berisikan seruan Stop Politik Uang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tematik mengenai isu politik uang. Analisa yang dilakukan menggunakan data kuantitatif dari pengawas tingkat provinsi dan kabupaten serta diskusi kelompok terpumpun itu menemukan bahwa praktik politik uang berpotensi terjadi di semua provinsi.

Sebanyak lima provinsi di antaranya berstatus tingkat kerawanan tinggi politik uang. Dalam skor 0-100, posisi pertama ditempati oleh Maluku Utara dengan skor 100.

Kemudian diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung skor 55,56, Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, daerah paling rawan adalah Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Posisi paling rawan kedua hingga keempat adalah Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat, dan Kabupaten Lampung Tengah di Lampung.

Komisioner Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, hasil riset yang dinamakan IPK tematik ini dibuat untuk merumuskan startegi mencegah praktik politik uang dalam Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024. Kajian semacam ini diperlukan mengingat modus politik uang semakin beragam.

"Dengan modus operandi yang semakin beragam, kita memerlukan fleksibilitas adaptasi secara cepat dan strategi yang tepat dalam membuat proyeksi maupun deteksi dini dalam upaya untuk pencegahan," kata Lolly saat meluncurkan hasil kajiam tersebut di Bandung, Jawa Barat, Ahad (13/8/2023).

Lolly menjelaskan, politik uang terbagi dalam beberapa bentuk. Dari sisi waktu, ada politik uang yang terjadi sebelum masa kampanye, ada pula sebelum hari pemungutan suara. Dari sisi alat transaksinya, ada yang dalam bentuk uang, uang digital, barang, dan janji.

"Modus memberi langsung itu salah satunya berupa pembagian uang, voucher atau uang digital dengan imbalan memilih (kepada salah satu peserta pemilu)," ujarnya.

Ia pun menyebutkan pelaku yang biasa melakukan politik uang, yakni kandidat, tim sukses/kampanye, ASN, penyelenggara ad hoc, dan simpatisan atau pendukung.

"Pemetaan kerawanan politik uang ini berupaya mengelompokkan kerawanan dalam kategori, modusnya apa, pelakunya siapa, dan wilayahnya dimana?" kata perempuan peraih magister ilmu hukun dari Universitas Pakuan Bogor itu.

Lolly menambahkan, dengan kondisi semua wilayah rawan terjadi politik uang, tentu tidak mudah melakukan pencegahan. Kesulitan itu bukan hanya karena kandidat sudah terbiasa melakukan politik uang di wilayah itu, tapi juga karena masyarakat setempat sudah terbiasa dan permisif.

Kendati begitu, berdasarkan hasil kajian IKP tematik ini terdapat lima kesimpulan dan rekomendasi yang harus dilakukan untuk mencegah politik uang pada pesta demokrasi 2024. Dua di antaranya adalah terus menyosialisasikan kepada pemilih soal kerugian yang ditimbulkan oleh politik uang, dan mengajak semua pihak berkolaborasi menangkal praktik culas tersebut.

"Keterlibatan masyarakat juga perlu didukung komitmen pemangku kepentingan, baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu beserta tim suksesnya, serta pemerintah untuk bersama-sama menjadikan pelaksanaan pemilihan umum 2024 dilakukan secara jujur dan adil," ujar Lolly.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement