REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Rukun Warga (RW) 012, Cluster C dan D Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, Janadidi menanggapi laporan Greenpeace Indonesia soal penyakit kulit yang timbul imbas polusi udara dan debu batabara. Menurutnya, laporan tersebut tidak berdasar dan tidak melibatkan unsur terkait kepala Rt/Rw dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat.
"Itu berita hoaks, karena kita setiap Jumat itu ada yang namanya Jumat Keliling atau Juling. Nah saat juling, petugas Puskesmas ikut nimbrung juga ke warga," kata Janadidi yang juga merangkap sebagai kepala keamanan Rusunawa Marunda saat ditemui Republika di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (14/8/2023).
Dia mengatakan, jika ada keluhan maupun penyakit kulit hingga penyakit parah lainnya, warganya langsung melapor dan diketahui olehnya. Penyakit kulit pada warga, kata dia, hanya penyakit individu oleh sebab kebersihan mandiri saja.
"Siapa yang bikin laporan hoaks seperti ini. Tidak ada berita yang seperti itu, walaupun ada penyakit kulit seperti itu, itu individu saja dia jorok tak menjaga kebersihan dan tak bersih merawat tubuh," kata dia.
Dia meyakini bahwa penyakit kulit yang diderita warganya bukan imbas dari debu batubara. Sebab PT Badan Usaha Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), yang mengoperasikan hilir mudik kapal batubara, sudah tak lagi beroperasi.
"Karena PT KCN yang ada di sana sudah beku dua tahun ini ngga jalan dan nggak operasi. Nah kalau untuk polusi udara itu jadi masalah kita bersama, Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara juga setiap sepekan sekali mengecek kualitas udara di sini," kata Janadidi.
Salah satu warga Blok D2 Rusunawa Marunda mengatakan kepada Republika bahwa debu batabara sudah berkurang mempengaruhi warga di sekitar cluster D. Setahun sebelumnya, dia mengaku debu batabara menyiksa warga di setiap lantai hingga lantai enam.
"Sekarang sudah berkurang, bahkan jarang ada. Dulu ini lantai hitam semua imbas debu batabara, jendela dan pintu kena imbas juga. Kami di sini semua pakai masker," kata Setya Astuti (21 tahun).
Dia tidak mendeteksi adanya warga yang mengalami gatal-gatal maupun penyakit kulit lainnya di lingkungan tempat tinggalnya. Namun ia tak memungkiri imbas polusi udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) muncul di daerah tersebut.
Warga lain yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan, tidak mengetahui adanya penyakit kulit yang menimpa tetangganya di Rusunawa Cluster D. Meski, ia mengaku pernah mengalami masa-masa rumah dan lingkungan sekelilingnya dipenuhi debu hitam tebal.
"Kita dulu repot banget tiap saat bersihin debu tebal. Petugas kebersihan di sini ya bersihkannya ya sesuai jam kerjanya saja, sisanya warga sendiri membersihkan debu-debu hitam yang menempel di lantai, jendela dan pintu," kata dia.
Sementara itu, petugas puskesmas Rusunawa Marunda, Ichsan mengatakan belum menerima laporan adanya penyakit kulit parah imbas dari polusi udara maupun debu batabara. Menurut dia, warga yang berobat hanya mengeluhkan gatal-gatal.
"Yang daftar karena gatal-gatal sih banyak ya, namun kan kita belum tahu penyebabnya apa. Kami berikan obat pereda gatal maupun salep dan bedak," kata dia saat ditemui Republika di Puskesmas Rusunawa Marunda Cluster B8.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menemukan penyakit kulit pada warga Marunda yang tinggal dekat dengan Pelabuhan tempat hilir mudik kapal batu bara. Organisasi Lingkungan itu mengatakan, bahwa polusi udara dan debu batubara penyebab utama penyakit kulit pada warga di sekitar Pelabuhan Marunda.
"Semakin hari, kualitas udara di Jakarta menjadi suatu hal yang langka. Hal ini terjadi di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, sebanyak 63 warga menderita gatal-gatal akibat polusi udara dan debu batubara sejak beberapa bulan lalu," kata Greenpeace Indonesia di akun Twitter @GreenpeaceID.
Greenpeace Indonesia yakin bahwa pencemaran batubara sekaligus polusi udara membuat warga gatal-gatal dan terkena penyakit kulit. Aktivitas keluar masuknya kapal tongkang pembawa batubara dikatakan berpengaruh pada sakit yang dialami banyak warga.