REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Gelombang panas dan pemadaman listrik yang semakin parah di Gaza. Kondisi ini telah membuat sebagian dari warga yang tinggal di daerah kantong Palestina yang penuh sesak berjuang untuk bernapas.
Ismail Nashwan yang menderita fibrosis paru-paru harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit sejak suhu naik lebih dari 38 derajat Celcius. Dia tidak dapat menyalakan ventilatornya, bahkan hanya kipas angin di rumah.
"Saya pergi ke rumah sakit, dan ketika saya kembali ke rumah, listrik padam lagi, jadi saya kembali ke rumah sakit," kata pria berusia 65 tahun itu melalui masker oksigen,dengan puluhan kantong obat di atas meja di samping alat bantu pernapasan di kamarnya.
"Beginilah hidupku," ujarnya.
Lebih dari 2,3 juta orang tinggal di sebidang tanah sempit yang terjepit antara Mesir dan Israel. Pemadaman listrik yang tidak dapat diprediksi sekarang berlangsung sekitar 12 jam sehari, karena permintaan AC melonjak.
Dokter Mohammad Al-Haj dari Rumah Sakit Shuhada Al-Aqsa di Gaza mengatakan, panas ekstrem dan gangguan listrik membuat tenaga kesehatan harus merawat lebih banyak orang dengan masalah pernapasan pada Juli hingga Agustus 2023. Rentang waktu itu biasanya menjadi momen terpanas dalam setahun.
"Pemadaman listrik menghilangkan hak pasien untuk ventilasi oksigen reguler dan itu mendorong pasien untuk terus mengunjungi rumah sakit," kata Haj.
Bersamaan dengan kasus fibrosis paru yang didapat, pejabat kesehatan Gaza mengatakan, lebih dari 300 orang di daerah kantong itu lahir dengan fibrosis kistik. Kondisi ini menyebabkan paru-paru dan sistem pencernaan tersumbat oleh lendir yang lengket.
Abdel-Majeed Al-Sbakhi yang menderita diabetes dan fibrosis kistik termasuk di antara mereka yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena panas. "Saya tidak tahan panas di rumah, itu menyebabkan lebih banyak peradangan dada dan meningkatkan detak jantung saya, jadi saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di rumah sakit," katanya.