REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menantikan adanya fenomena regional yang memungkinkan pembentukan awan untuk melakukan rekayasa cuaca di wilayah Banten dan Jawa Barat. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bahwa ada beberapa waktu, awan di Jakarta cukup untuk dilakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC).
"Tapi memang optimalisasinya nanti harus kami lihat dan hitung ulang," ujar Abdul kepada Antara di Jakarta, Senin (15/8/2023).
Lebih lanjut, Abdul mengatakan, dalam beberapa kesempatan, awan di Jakarta dipengaruhi oleh interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia.
"Kita harapkan ada kondisi-kondisi regional yang memungkinkan awan di atas Banten dan Jabar feasible (dapat digunakan, red) untuk TMC," ujar Abdul.
Polusi udara semakin menjadi karena saat musim kemarau, kelembapan rendah dan kerapatan molekul renggang. Saat curah hujan tinggi, air banyak, dan pencemar udara akan seperti diikat atau dibasuh secara alami.
Pencemar yang ada di ketinggian akan dibawa ke permukaan tanah dan yang sudah ada di permukaan tanah akan dialirkan atau diserap. Kelembapan udara juga mempengaruhi polusi udara. Saat udara lembap, molekul polutan mudah terikat sehingga tidak beterbangan bebas di udara lagi.
Kerapatan molekul juga memengaruhi kadar polusi. Saat permukaan cenderung kering maka kerapatan molekul debu dan polutan lainnya akan rendah sehingga mudah beterbangan dan dapat dihirup oleh manusia.
Dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, Presiden Joko Widodo mendorong sistem kerja hibrida untuk mengurangi polusi udara di Jabodetabek yang semakin memburuk. Presiden memerintahkan intervensi dari kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian untuk menjadikan kualitas udara di Jabodetabek lebih baik, salah satunya dengan rekayasa cuaca untuk memancing hujan di kawasan Jabodetabek dan menerapkan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi.