REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang menggunakan tentara bayaran merupakan strategi yang telah dikenal lama, bahkan sejak sebelum ditemukannya senjata api. Namun di era peperangan modern saat ini, strategi menggunakan Tentara Bayaran kembali populer, terutama setelah berakhirnya perang Irak dan pecahnya perang Rusia-Ukraina.
Pasca-tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat menghadapi ancaman perang baru, melawan terorisme. Berbeda dengan musuh di era perang dingin, perang melawan terorisme ini menghadapi musuh yang belum pasti keberadaannya.
Sejak saat itulah, AS sebagai negara korban tragedi 11 September menggunakan kekuatan militer kontrak atau tentara bayaran. Beberapa nama Tentara Bayaran setelah itu muncul dan dikenal seperti Blackwater yang merupakan bentukan dari mantan pejabat AS saat itu. Dalam perjalanannya Tentara Bayaran Blackwater yang terlibat dalam berbagai operasi rahasia AS.
Satu di antaranya dalam perang melawan terorisme, mulai dari di Afganistan, Irak hingga Suriah mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Kecaman itu juga yang menuntut pemerintah AS memutus kontrak dengan Blackwater, dan dikabarkan kelompok ini membubarkan diri sebelum pecahnya perang Rusia-Ukraina.
Penggunaan tentara bayaran Blackwater dalam 'perang melawan teror' oleh AS mengilhami Rusia dan negara-negara lain untuk melakukan outsourcing pasukan bayaran untuk berperang. Sedikit banyak Blackwater telah membuka jalan bagi Grup Wagner Rusia melanjutkan kontrak tentara bayaran untuk berperang di Ukraina.
Hal itulah yang dipotret seorang profesor di Departemen Sejarah, California State University, San Marcos, Ibrahim Al-Marashi. Dia menulis dalam salah satu opini di Aljazirah terkait Blackwater yang telah membuka jalan kesuksesan Grup Wagner, hingga disegani saat ini.
Al-Marashi yang juga sejarawan modern pasca-perang Irak berakhirnya era Saddam Hussein ini mengungkapkan fenomena setelah pemberontakan yang dilakukan oleh Grup Wagner di Rusia. Menurut dia, banyak pihak yang memperkirakan setelah insiden itu, pendiri Wagner, Yevgeny Prigozhin, akan membayar mahal atas tindakannya, mungkin dengan nyawanya.
Namun, komandan tentara bayaran itu dikirim ke 'pengasingan' di negara tetangga, Belarusia, dan pesawat tempurnya terus beroperasi di luar Rusia dan Ukraina. Prigozhin akhirnya bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin secara pribadi dan kemudian mengumumkan bahwa perusahaan militer swasta itu akan fokus pada pekerjaannya di Afrika.
Tak mengherankan jika Putin memutuskan untuk mempertahankan pasukan tentara bayaran yang telah terbukti cukup efektif dalam mendorong petualangan kebijakan luar negerinya di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Dia mungkin telah belajar satu atau dua pelajaran dari negara besar lainnya, seperti AS, yang ketergantungannya yang besar pada Tentara Bayaran telah membuka jalan bagi tumbuhnya privatisasi dan outsourcing perang di seluruh dunia.
Bagi AS, Rusia, dan negara-negara lain, kontraktor militer berfungsi sebagai sarana yang nyaman untuk perang proksi. Cara ini yang menawarkan penyangkalan yang masuk akal dan mengurangi potensi ketegangan dalam negeri atas perang yang terjadi di luar negeri.
Perang dengan tenaga outsourcing
Penggunaan Tentara Bayaran oleh pemerintah AS bukanlah fenomena yang baru, namun selama dua dekade terakhir ini telah berkembang pesat. Selama 'perang melawan teror' yang diluncurkan pada tahun 2001, jumlah jumlah Tentara Bayaran diprediksi mencapai sekitar 50 persen, bahkan lebih. Sebab AS akan membutuhkan ratusan ribu personel untuk melaksanakan operasi militer di Afghanistan, Irak, dan di tempat lain.
Sejak dimulainya 'perang melawan teror', Pentagon telah menghabiskan 14 triliun dolar AS, dengan sepertiga hingga setengahnya digunakan untuk kontraktor militer di zona tempur. Banyak dari uang ini digunakan untuk kontrak yang berkaitan dengan logistik, konstruksi, dan pasokan senjata, tetapi sebagian besar juga digunakan untuk membayar 'tentara bayaran'.
Selama puncak upaya kontra-pemberontakan tahun 2008 di Irak, jumlah tentara bayaran mencapai 163.400 orang (termasuk orang-orang yang berperan non-tempur) dibandingkan dengan 146.800 tentara AS. Pada tahun 2010, di tengah-tengah 'lonjakan' di Afghanistan, ketika pasukan tambahan dikerahkan untuk serangan baru terhadap Taliban, terdapat 112.100 kontraktor (termasuk orang-orang yang berperan non-tempur) dibandingkan dengan 79.100 tentara.