REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit perdagangan minyak dan gas (migas) kembali melebar pada Juli 2023 setelah sempat mengecil di bulan-bulan sebelumnya. Kenaikan signifikan terhadap impor minyak mentah menjadi penyebab utama.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit migas mencapai 1,91 miliar dolar AS, naik signifikan dari bulan sebelumnya yang hanya 0,96 miliar dolar AS.
“Defisit ini tertinggi sejak November 2022, karena pada Oktober 2022 kita mengalami defisit 2,08 miliar dolar AS,” kata Plt Kepala BPS, Amalia Adiningar Widyastuti dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Sepanjang Juli 2023, total nilai impor migas mencapai 3,3 miliar dolar AS. Impor migas mengalami kenaikan hingga 40,9 persen dari bulan Juni 2023 yang sebesar 2,22 miliar dolar AS.
BPS menyampaikan peningkatan impor migas ini disebabkan oleh bertambahnya impor minyak mentah sebesar 83,36 persen senilai 560,5 juta dolar AS.
“Impor minyak mentah ini ternyata paling banyak dari Nigeria 514,4 juta dolar AS dengan pangsa impor 41,73 persen, kemudian dari Saudi Arabia sebesar 152,9 juta dolar AS dengan pangsa 12,4 persen,” kata Amalia.
Selain bertambahnya impor minyak mentah, BPS juga mencatat kenaikan impor hasil minyak mentah naik 31,6 persen senilai 417,8 juta dolar AS. Sementara, impor gas mengalami penurunan 29,73 persen atau senilai 68,4 juta dolar AS.
Lebih lanjut dari sisi ekspor migas justru mengalami. Selama Juli 2023, kinerja ekspor migas hanya 1,23 miliar dolar AS, turun 2,61 persen dari bulan sebelumnya 1,26 miliar dolar AS.
Penurunan ekspor migas ini utamanya disebabkan oleh turunnya ekspor minyak mentah sebesar 38,85 persen menjadi 110,9 juta dolar AS serta ekspor hasil minyak mentah yang turun 14,39 persen menjadi 363 juta dolar AS.