REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang Juli 2023 kembali surplus 1,31 miliar dolar AS. Meski demikian, tren surplus kian mengecil imbas era harga komoditas yang tinggi mulai berlalu.
Sejumlah ekonom mengingatkan potensi terjadinya pembalikan arah neraca perdagangan menjadi defisit setelah sursplus dalam 39 bulan terakhir. Potensi defisit bahkan dinilai cukup besar seiring kecenderungan ekonomi domestik negara mitra dagang yang melambat.
“Kemungkinan surplus berbalik menjadi defisit sangat mungkin terjadi bahkan sebelum tahun 2024,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Selasa (15/8/2023).
Bhima menilai, surplus dagang yang dicapai Indonesia juga semu. Pasalnya, impor juga mengalami penurunan yang menandakan lesunya industri di dalam negeri memproduksi barang.
Tercatat, nilai ekspor Juli 2023 mencapai 20,8 miliar dolar AS. Nilai ini masih tumbuh 1,36 persen secara dibandingkan Juni 2023 atau month to month (mtm) namun anjlok 18,03 persen dibandingkan Juli 2023 atau year on year (yoy).
Adapun nilai impor di bulan yang sama sebesar 19,57 miliar dolar AS. Impor masih tumbuh 14,1 persen mtm tapi anjlok 8,32 persen secara yoy.
Bhima mengatakan, negara mitra dagang utama seperti China, Amerika Serikat hingga Eropa, Jepang, dan Korea Selatan cenderung melambat. Situasi ini ikut menyebabkan booming harga komoditas dunia telah usai.
Ekonomi Indonesia yang selamat dari resesi selama pandemi Covid-19 lalu pun ditopang dari ledakan harga komoditas yang mengerek kenaikan ekspor dan mencatatkan surplus dagang.
“Kita harus berpikir bagaimana kalu terjadi tekanan dari sisi ekspor dan impor maka harus beralih ke ekspor industri manufaktur dengan hilirisasi yang didorong,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia masih harus terus berupaya mencari pasar alternatif diluar mitra dagang utama saat ini. ASEAN dinilai Bhima memiliki prospek positif bagi Indonesia.
Ekonomi Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengaku tak kaget dengan tren surplus yang terus melandai. Ia mengatakan, sejak awal tahun kinerja perdagangan telah diproyeksikan akan mengalami penurunan imbas tren harga komoditas yang kemungkinan tak akan naik tinggi.
“Peningkatan harga komoditas dua tahun belakang ini lebih banyak dipengaruhi faktor geopolitik, artinya kita semacam mendapatkan keuntungan dari (konflik) Rusia-Ukraina,” kata Yusuf.
Hingga akhir tahun ini, ia menilai belum terdapat tanda luar biasa yang bisa mengerek kenaikan harga komoditas global karena telah mencapai puncak. Namun, peningkatan ekspor tetap masih berpeluang dicapai terutama bila pada kuartal IV atau di akhir tahun terdapat kenaikan permintaan dunia yang signifikan.
“Kita melihat potensi surplus tetap ada tapi ini akan tergantung kuartal IV,” kata dia.